Gelar Master Buya diselesaikan di University of Ohio dan program Doktoral di University of Chicago, keduanya di USA. Berbeda dengan Amien Rais, yang mengekspresikan sikap pluralis dan toleransi pada partai yang didirikannya, tokoh Muhammadiyah ini memperlihatkannya dalam membela hak kaum lemah dan "minoritas." Meskipun, terhadap yang disebut terakhir ini, Buya mendapat kritik dari sebagian warga Muhammadiyah.Â
Lihat juga: Tasawuf Muhammadiyah: Sufi Berkemajuan
Dalam kasus Basuki Tjahja Purnama (Ahok), tokoh Muhammadiyah tersebut mendukung dan membela Ahok dari bullying sebagian masyarakat. Sesungguhnya, sebagian mereka yang membully menilai bukan karena Ahok berasal dari kelompok etnis minoritas, tetapi perilaku (tutur kata) yang bersangkutan dianggap menyakitkan.Â
Namun, isu Ahok lebih menonjol kemudian dikaitkan dengan masalah intoleransi terhadap kaum minoritas. Dialog yang dahulu dilakukan oleh Kyai Ahmad Dahlan, pada masa awal Muhammadiyah berdiri, dengan para pendeta dan Pastor dilakukan juga oleh Buya dalam segala tokoh dan kegiatan yang lebih bervariatif.Â
Tokoh Muhammadiyah yang terakhir, setelah kepemimpinan pasca Reformasi, adalah Din Syamsuddin. Pendidikan Magister dan Doktoral ia selesaikan di University of California at Los Angeles (UCLA). Ia dipercaya menahkodai Muhammadiyah dua periode kepemimpinan (2005- 2010 dan 2010-2015). Tokoh yang satu ini memiliki pergaulan sangat luas. Berbeda dengan para pendahulunya, keluasan pergaulan Din Syamsuddin menembus batas kawasan.Â
Berbagai negara ia kunjungi dalam rangka mengkampanyekan perdamaian antar umat dan bangsa berdasarkan nilai pluralitas dan toleransi. Ghirah politik tetap tersembunyi, meskipun kadang-kadang meletup dalam ungkapan kritis terhadap perkembangan situasi nasional dan global. Terkait dengan nalar politiknya, Din Syamsuddin merupakan tokoh sentral yang menginisiasi gerakan Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).Â
Tokoh Muhammadiyah ini juga pendiri Partai Pelita, yang dideklarasikan pada 28 Februari 2022. Sama tujuannya dengan aksi-aksi yang telah dilakukan, melalui KAMI ia juga melakukan kritik terhadap kebijakan yang dinilai tidak berpihak pada keadilan dan rakyat. Hal ini dilakukan karena kurang berfungsinya tugas DPR sebagai lembaga kontrol terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai menyimpang.Â
Berpendidikan BaratÂ
Yang menarik dari ketiga tokoh Muhammadiyah ini adalah ketiganya berlatar pendidikan Barat. Ketiganya tidak bisa tinggal diam manakala melihat akibat kebijakan pemerintah yang terjadi di masyarakat. Amien Rais dengan bahasa khasnya yang tanpa "tedeng aling-aling" melontarkan kritik terhadap pemerintah dari kasus per kasus kebijakan yang merugikan rakyat.Â
Demikian juga Din Syamsuddin. Bahkan yang disebut terakhir ini menggalang protesnya dengan elemen kekuatan masyarakat dan bangsa dalam aksi bersama melalui jalur hukum, seperti Judicial Review. Berbeda dengan keduanya, kritik Buya cenderung menggunakan bahasa umum, tidak ditujukan langsung kepada pemerintah, tetapi terhadap akibat kebijakan yang terjadi di masyarakat.Â
Ungkapan, seperti "kerusakan yang hampir sempurna," "tidak bertemunya antara ucapan dan tindakan," bisa dipahami sebagai contoh bagaimana ungkapan itu ditulis dalam resonansi mingguan di sebuah Harian Nasional.Â
Lihat juga: Muhammadiyah Berperan Besar dalam Masyarakat, Menurut Ketua BPH Umsida