Kedua karya ini menceritakan peristiwa besar, pelik, rumit dan abu-abu melalui sudut pandang anak kecil yang terlalu muda untuk memahami kejadian di sekitarnya tapi jelas merasakan akibatnya. Tupu kehilangan ayah yang mereka cintai, pelindung mereka dan pada saat yang sama juga kehilangan kedamaian dalam hidup.
Namun, di situlah letak kekuatan Mwarthirika. Tanpa melupakan kisah eksekusi terhadap orang-orang yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) -misalnya salah satu adegan menunjukkan orang-orang “kiri” dibariskan dengan jempol terikat lalu ditembak dicemplungkan ke kali, stigmatisasi terhadap pengikut PKI dan keturunannya dengan simbol cap merah di kepala boneka-boneka, dan penangkapan orang-orang yang rumahnya diberi tanda segitiga merah- pertunjukan ini seperti menegaskan bahwa sejarah bukan sekadar narasi soal pahlawan dan penjahat.
Maria dan Iwan mengangkat kepedihan orang-orang usai hari-hari paling kelam dalam sejarah Indonesia melalui peristiwa yang terlalu sulit diungkapkan dengan bahasa tapi berhasil meresap ke ulu hati penonton.
Dan sejarah pada akhirnya –seperti kata mereka- bukan tentang siapa yang membunuh siapa. Tapi sejarah kehilangan dan kehilangan sejarah dalam hidup kita. Bukankah kalau kita tahu tentang apa yang terjadi di masa lalu, maka kita bisa memahami kenapa kita berdiri di sini sekarang, dan mau pergi kemana di masa mendatang?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H