Mohon tunggu...
Moch Umar Syarifuddin
Moch Umar Syarifuddin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

saya adalah saya dan akan selalu jadi saya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menilai Ulang Peristiwa G30 S

1 Oktober 2012   07:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:25 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pada suatu pagi yang indah dan cerah di penghujung bulan September 1965, Tupu, seorang gadis kecil bermain kuda-kudaan dengan ceria di depan rumahnya.

Tak lama berselang, dari balik pintu rumah berdinding kayu itu, turun seorang bocah lelaki perlahan-lahan menuruni tangga rumah yang juga terbuat dari kayu, khas rumah pedesaan pada masa itu.

Dialah Moyo, kakak Tupu, datang dengan menggenggam sebuah balon merah. Keduanya lantas asyik bermain, meloncat-loncat, berlarian, diam, lari lagi, diam lagi dan pada akhirnya juga rebutan mainan.

Tupu merengek manja hingga memaksa Moyo mengalah dan memberikan balonnya. Mereka seperti memiliki dunia sendiri, simbol komunikasi sendiri yaitu meniup pluit merah untuk memanggi satu sama lain.

Hari-hari kedua bocah ini penuh dengan kegembiraan, bertetangga baik dengan Haki yang memiliki putri bernama Lacuna, yang selalu duduk di kursi roda hingga pada suatu malam muncul tanda segitiga merah di dinding jendela rumah Tupu dan Moyo. Oleh ayah mereka yang bertangan satu, tanda itu sebenarnya coba dihapuskan namun upaya itu gagal. Siapa gerangan yang membuatnya?

Hari-hari berikutnya, kehidupan mereka mendadak berubah secara drastis. Suatu hari misalnya tiba-tiba segerombolan tentara bersenjata laras panjang mendatangi halaman rumah saat ayah mereka sedang membetulkan kuda-kudaan Tupu yang rusak dengan palu.

Setelah melihat tanda segitiga, para serdadu berwajah sangar itu “mengambil” ayah Tupu dan Moyo. Mereka berdua sangat ketakutan dan tak mengerti mengapa sang Ayah tak pulang-pulang hingga malam dan keesokan hari. Sang Ayah juga tak berkata apa-apa saat dibawa tentara selain menyerahkan kuda-kudaan Tupu yang sudah selesai diperbaiki. Haki juga tak lagi ramah dan melarang Lacuna bermain bersama Tupu dan Moyo.

Begitulah adegan pembukan Cerita Kecil di Mwarthirika, garapan terbaru Maria Tri Sulistyanti dan Iwan Effendi dari Papermoon Puppet Theatre dalam rangka memeriahkan pameran Indonesia and the World in 1965 di GoetheHaus, Jakarta.

Pameran ini berlangsung sejak 18-21 Januari dengan ditandai peluncuran buku, konferensi internasional dan pertunjukan tari. Acara berlangsung di bawah bayang-bayang ancaman pembubaran oleh sekelompok orang yang mengaku penentang komunisme dan paham komunisme.

Mwarthirika, seperti kata Maria dan Iwan, adalah sebuah pertunjukan visual tanpa kata, mengenai sejarah abu-abu yang disampaikan dengan cara imajinatif seperti di negeri dongeng. Mereka menggunakan boneka jenis Bunraku dan Kuruma Ningyo dari Jepang sebagai tokoh dan menggunakan Bahasa Swahili sebagai judul pementasan sekaligus nama-nama karakter.

Dunia Tupu dan Moyo mirip dengan kehidupan Scout Finch dan Jeremy Atticus “Jem”  Finch, dua anak bersaudara dalam novel To Kill a Mockingbird karya Harper Lee yang juga berlatarbelakang pedesaan dan fokus pada prasangka negatif terhadap ras kulit hitam.

Kedua karya ini menceritakan peristiwa besar, pelik, rumit dan abu-abu melalui sudut pandang anak kecil yang terlalu muda untuk memahami kejadian di sekitarnya tapi jelas merasakan akibatnya. Tupu kehilangan ayah yang mereka cintai, pelindung mereka dan pada saat yang sama juga kehilangan kedamaian dalam hidup.

Namun, di situlah letak kekuatan Mwarthirika. Tanpa melupakan kisah eksekusi terhadap orang-orang yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) -misalnya salah satu adegan menunjukkan orang-orang “kiri” dibariskan dengan jempol terikat lalu ditembak dicemplungkan ke kali, stigmatisasi terhadap pengikut PKI dan keturunannya dengan simbol cap merah di kepala boneka-boneka, dan penangkapan orang-orang yang rumahnya diberi tanda segitiga merah- pertunjukan ini seperti menegaskan bahwa sejarah bukan sekadar narasi soal pahlawan dan penjahat.

Maria dan Iwan mengangkat kepedihan orang-orang usai hari-hari paling kelam dalam sejarah Indonesia melalui peristiwa yang terlalu sulit diungkapkan dengan bahasa tapi berhasil meresap ke ulu hati penonton.

Dan sejarah pada akhirnya –seperti kata mereka- bukan tentang siapa yang membunuh siapa. Tapi sejarah kehilangan dan kehilangan sejarah dalam hidup kita. Bukankah kalau kita tahu tentang apa yang terjadi di masa lalu, maka kita bisa memahami kenapa kita berdiri di sini sekarang, dan mau pergi kemana di masa mendatang?.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun