Mohon tunggu...
Andi Nurlela
Andi Nurlela Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen Departemen Sosiologi Fisip UNHAS

Traveling

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sebatik, Pulau di Antara Dua Bendera

25 September 2024   09:00 Diperbarui: 25 September 2024   09:03 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Sebatik, sebuah pulau dengan penduduk kurang lebih 50.000-an jiwa yang terletak di ujung utara Indonesia, menyimpan kisah unik yang jarang disorot media. Pulau ini tidak hanya berperan sebagai benteng terdepan Nusantara, tetapi juga menjadi simbol dari batas-batas politik dua negara. Namun tidak selalu memisahkan manusia, budaya, dan kehidupan sehari-hari.

Terletak di antara dua negara, Indonesia dan Malaysia, Sebatik menjadi saksi bisu dari sejarah panjang perbatasan, nasionalisme, dan hubungan antarbangsa yang dinamis. Berdasarkan berbagai sumber, asal usul nama Sebatik berawal dari ekspedisi yang dilakukan oleh tim Belanda di masa kolonial. Ketika menjelajahi pulau ini, mereka menemukan seekor ular besar sejenis sanca. Penduduk lokal yang ikut dalam ekspedisi tersebut menyebut ular itu "Sawa Batik." Nama ini kemudian diadopsi oleh tim ekspedisi Belanda dan disebut "Sebettik," yang seiring waktu berubah pengucapannya menjadi "Sebatik" seperti yang dikenal saat ini.

Dua Bendera, Satu Pulau

Sebatik terbelah secara administratif oleh garis perbatasan yang membagi pulau ini menjadi dua bagian: wilayah utara dikuasai oleh Malaysia (Sabah), sementara wilayah selatan adalah bagian dari Indonesia, tepatnya Provinsi Kalimantan Utara. Garis batas ini bukanlah sesuatu yang terlihat jelas di permukaan, namun memisahkan dua kedaulatan yang berbeda. Pulau Sebatik terdiri dari 5 Kecamatan dan 19 Desa. Masyarakat yang tinggal di Sebatik, baik di sisi Indonesia maupun Malaysia, menjalani kehidupan mereka dengan cara yang menunjukkan bagaimana identitas nasional dapat menjadi cair.

Di satu sisi, warga Indonesia di Sebatik hidup dengan segala atribut negara Indonesia seperti bahasa, mata uang rupiah, hingga pendidikan. Sementara di sisi Malaysia, bahasa Melayu, ringgit, dan sistem pendidikan Malaysia mendominasi. Namun, di tengah perbedaan yang ada, warga di kedua sisi sering kali saling berinteraksi secara akrab, terutama karena banyak dari mereka memiliki ikatan keluarga yang tersebar di kedua negara. Ini menciptakan sebuah dinamika sosial yang unik di mana batas politik menjadi sekadar formalitas.

Harmoni dalam Keberagaman

Dalam menjelaskan dinamika sosial di Sebatik, Durkheim berpendapat dalam teorinya mengenai Integrasi Sosial, bahwa masyarakat yang beragam dapat bersatu melalui nilai-nilai kolektif yang dijunjung bersama. Di Sebatik, meskipun masyarakat terdiri dari berbagai suku seperti Bugis (60%), Jawa (20%), Tidung (10%), Dayak (5%) dan lainnya (5%), mereka mampu menjaga harmoni melalui nilai-nilai toleransi dan saling menghormati. Keragaman suku dan budaya tidak menjadi penghalang, melainkan kekuatan yang memperkaya kehidupan masyarakat Sebatik.

Sejarah panjang Sebatik juga memperlihatkan bahwa integrasi sosial ini didukung oleh keberadaan tokoh-tokoh kunci, seperti Ambo Emmang, orang pertama dari suku Bugis Wajo yang tiba di Sebatik. Kehadirannya membuka jalan bagi interaksi sosial dan budaya yang terus berkembang di antara berbagai suku di pulau ini. Sesuai dengan teori Pluralisme dari J.S. Furnivall, masyarakat Sebatik hidup dalam situasi plural, di mana berbagai kelompok etnis mempertahankan identitas budayanya sendiri, tetapi tetap hidup berdampingan dengan damai. Keragaman ini menciptakan harmoni sosial yang unik, di mana perbedaan tidak menjadi penghalang, melainkan kekuatan yang memperkaya kehidupan bersama.

“Sebagai orang Bugis yang merantau sekitar tahun 80an dan kini tinggal di Sebatik, kami berpegang teguh pada prinsip bahwa di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Meski sudah puluhan tahun menetap di Pulau Sebatik, kami tetap menyadari pentingnya menghormati budaya setempat. Kami percaya bahwa sebagai pendatang, kami harus senantiasa menghargai dan beradaptasi dengan tradisi serta norma yang ada di Sebatik” ujar Haji Herman Baco, tokoh masyarakat setempat, yang ditemui penulis saat melakukan riset di Sebatik, awal September lalu.

Kehidupan di Perbatasan

Tinggal di wilayah perbatasan tidaklah mudah. Banyak tantangan yang dihadapi masyarakat Sebatik, terutama dari segi infrastruktur, akses layanan publik, dan ekonomi. Sebagai salah satu pulau terluar Indonesia, Sebatik sering kali merasa terpinggirkan dari arus pembangunan nasional. Meski secara administratif masuk dalam wilayah Indonesia, akses terhadap barang dan jasa dari negara sendiri terkadang lebih sulit daripada dari Malaysia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun