Kini, kita tidak sulit untuk menemukan warung kelontong.
Karena warung kelontong sudah  bertebaran di mana-mana. Hingga ke pelosok desa. Bahkan di sebuah kompleks perumahan dengan  lima RT (Rukun Tetangga) jumlah warung kelontongnya lebih dari sepuluh. Â
Tetapi sayang pelayanan warung kelontongnya banyak yang  kurang memuaskan sebagaimana keluhan para warga di sana.
Bebebapa warga di kompleks tersebut ada yang mengeluh. Toko A jadwal bukanya tak menentu. Kadang buka, kadang tutup. Kalau pun buka waktunya tidak begitu lama. Warga sering "kecele" datang ke tokonya.
Warung B setiap hari buka. Hanya barang dagangannya kurang  lengkap. Sehingga warga sering kali kecewa setiap kali datang ke tokonya. Â
Warung C buka pada waktu-waktu tertentu saja. Kalau membeli barang di warung C, pembeli harus memencet bel terlebih dahulu dan menunggu pemiliknya ke luar sekian lama.
Karena pelayanan warung kelontong yang sering  mengecewakan  itu akhirnya Ma'e membuat warung kelontong  sendiri. Â
Modal warung kelontong berasal  dari anak-anak Ma'e. Terutama anak-anak Ma'e yang sudah bekerja. Ma'e sendiri sudah  tidak berpenghasilan kecuali sekedarnya. Oleh karena itu Ma'e memberi nama "Warung Kelontong Anak Ma'e".
Pada awal bulan biasanya anak-anak menyisihkan sejumlah uang untuk "kulakan".Mereka membeli barang dagangan di  toko grosir atau pasar induk di Bondowoso.
Barang-barang yang mereka  beli antara lain satu renteng mie gelas, satu renteng susu kental manis, satu renteng kopi bubuk instan, satu renteng coklat bubuk dan satu renteng tepung bumbu. Terkadang  satu kardus mie instan goreng  dan beberapa "sachet" bumbu instan serta beberapa kilogram telur. Sedangkan sembako sudah ada  orang yang memasok seperti beras, gula dan minyak goreng.
Barang-barang warung kelontong  Anak Ma'e selalu habis sebelum satu bulan. Anak-anak Ma'e sendiri yang mengsmbilnya. Kadang-kadang anak-anak Ma'e memberikannya ke tamu  yang datang dari desa.
Ma'e pernah mau menjual barang dagangan  ke para tetangga. Tetapi baru saja mau membuka warung kelontong untuk umum, sudah ada orang yang  merasa terancam. Karena warungnya bakal berkurang pembelinya. Bahkan ada orang yang melarangnya membuka warung kelontong. Karena katanya, sudah banyak  orang yang membuka warung kelontong di perumahan.  Kalau Ma'e  tetap membuka warung kelontong berarti Ma'e merebut pembeli warung mereka.
Daripada pusing-pusing memikirkan hal itu maka Ma'e mengurungkan niatnya untuk menjual barang dagangan ke tetangga. Meskipun demikian Ma'e tidak menolak tetangga yang berminat membeli sembakonya jika ada persediaan.
Sesungguhnya Ma'e pernah membuka usaha warung kelontong keliling. Nama usahanya  itu "Rumah Hamdan" Modalnya dari teman-teman komunitas muslimah di Bondowoso. Barang dagangannya antara lain madu, ladrang, pisang, bolen, susu kambing, susu kedelai dan lain-lain sesuai pesanan.
Anak lelaki Ma'e yang  ketiga yang menjajakan barang dagangannya. Ia berkeliling naik motor  ke beberapa wilayah  desa dan kompleks perumahan.
Usaha warung kelontong keliling berjalan lancar selama setahun lebih. Tetapi, setelah anak lelaki Ma'e bekerja sebagai guru Al-Qur'an di lembaga pendidikan Islam di Jember dan tidak ada orang yang menggantikannya, maka Ma'e terpaksa menutup usaha warung kelontong  tersebut. Â
Ma' e yakin bahwa setiap orang memiliki jatah rezekinya masing-masing. Ma'e juga yakin  akan ada rezeki yang datangnya tak disangka-sangka. Akan ada rezeki dari jalur lain yang menanti setelah usaha warung kelontongnya berhenti.  Tentu jika Ma'e mau berusaha  menjadi orang yang bertakwa. Tetap  melakukan iktiar, berdoa dan tawakal. Â
Akhirnya warung kelontong keliling Ma'e pun tinggal kenangan.
Bondo17. 9/12/2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H