Mohon tunggu...
Abdisita Sandhyasosi
Abdisita Sandhyasosi Mohon Tunggu... Psikolog - Penulis buku solo "5 Kunci Sukses Hidup" dan sekitar 25 buku antologi

Alumni psikologi Unair Surabaya. Ibu lima anak. Tinggal di Bondowoso. Pernah menjadi guru di Pesantren Al Ishlah, konsultan psikologi dan terapis bekam di Bondowoso. Hobi membaca dan menulis dengan konten motivasi Islam, kesehatan dan tanaman serta psikologi terutama psikologi pendidikan dan perkembangan. Juga hobi berkebun seperti alpukat, pisang, jambu kristal, kacang tanah, jagung manis dan aneka jenis buah dan sayur yang lain. Motto: Rumahku Mihrabku Kantorku. Quote: "Sesungguhnya hidup di dunia ini adalah kesibukan untuk memantaskan diri menjadi hamba yang dicintai-Nya".

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kala Aku Menjadi Guru TK

28 November 2022   15:50 Diperbarui: 28 November 2022   15:48 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku lulusan psikologi sebuah PTN di Surabaya, tetapi takdir menuntunku menjadi guru di  lingkungan pesantren. Awalnya aku menjadi guru MA (Madrasah Aliyah), kemudian aku menjadi guru TK (Taman Kanak-kanak). Ketika itu honorku  hanya sekitar 20 ribu per bulan. Dan aku "enjoy" menjalaninya. Mengingat firman-Nya berikut ini , "... tetapi  boleh  jadi  kamu  tidak  menyenangi  sesuatu,  padahal  itu  baik  bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (QS Al-Baqarah:216)      

Setelah menikah aku tinggal bersama suamiku di rumah sederhana dari kayu di sebuah desa lereng gunung Argopuro.

Rumah kami tak dilengkapi fasilitas listrik PLN dan PDAM.  Sehingga mau tak mau kami menumpang listrik ke  tetangga untuk menyalakan lampu 10 Watt. Sedangkan air bersih aku harus mengambilnya di sumber air atau tempat penampungan air di dekat rumah.

Dari pernikahan tersebut lahirlah anak-anak kami. Pertama bernama Hamdan. Kedua bernama Faruq. Dan ketiga bernama Adil.

Aku dan suamiku bekerja di  lembaga pendidikan yang sama dengan honor  yang relatif kecil. Menurut Badan Pusat Statistik, keluargaku tergolong miskin. Meskipun demikian, aku dan keluargaku hidup bahagia. Berikut ini adalah beberapa potong kisah kami.

Pagi itu. Setelah memandikan anak-anak, suamiku mencuci baju di sungai. Sementara itu  aku  pergi ke pancuran. Menampung  air satu timba. Lalu aku membawanya ke rumah  sampai  tempayan  di dapur  penuh.  

Setelah memetik  sayur- mayur, seperti, labu siam, cabe rawit dan tomat di  kebun  belakang rumah, aku mencari ranting-ranting kering untuk kayu bakar di sekitar kebun.

Setelah mendapatkan setumpuk ranting kering,  aku menyalakan   tungku. menjerang  air,  menanak  nasi, mengukus labu siam, cabe rawit dan tomat. Setelah semuanya masak, aku membuat sambal tomat di cobek. Lalu aku menaruh  nasi yang masih hangat  di tempat nampan. Labu siam kukus  di piring. Sambal tetap di cobek.  Beberapa saat kemudian aku memanggil suami dan anak- anakku.

Aku melihat suami dan anak-anakku dari balik pintu berkaca. Suamiku baru saja selesai menjemur baju dan anak- anakku sedang bermain di teras.

Aku membuka pintu dan berseru lantang: "Makanan sudah siap!"
Serta merta Hamdan dan adik-adiknya berdiri.
"Baiklah, kami sudah siap menyantap!" sahut Hamdan riang.  

Suamiku tersenyum dan menaruh timba di sudut rumah  "Ayo makan! Ayo makan" ajak suamiku.

Hamdan dan adik- adiknya bergegas memasuki rumah. Setelah mencuci tangan di "kobokan" (tempat cuci tangan). Mereka naik ke balai- balai. Aku dan suamiku juga naik ke balai- balai. Mata anak- anak berbinar- binar menatap hidangan. Setelah berdoa, kami makan bersama ala santri di pesantren. Alhamdulillah nikmatnya luar biasa!

Ketika jam  di  dinding  menunjukkan  pukul  07.00 Aku,   suamiku dan anak- anakku bersiap-siap berangkat ke  Pesantren. Honor kami sebagai guru di Pesantren tidaklah cukup untuk mengupah pembantu. Sehingga kami terpaksa membawa anak-anak ke Pesantren.

Jarak rumah ke pesantren sekitar 3,5 km.  Kami  naik  ojek. Satu ojek berlima. Aku duduk paling belakang sambil menggendong Adil. Faruq duduk paling depan.  Suamiku, Hamdan dan Pak Ojek duduk di antara aku dan Adil

Lima belas menit kemudian kami sampai di Pesantren, suamiku langsung menuju gedung Madrasah Aliyah atau MA-tempat suamiku mengajarkan Biologi.   Sedangkan aku dan ketiga anakku menuju gedung Taman  Kanak- kanak atau TK yang letaknya tidak jauh dari gedung MA.  

Aku mengajar santri  TK di kelompok B.  Kegiatan  TK  dimulai  pukul  setengah delapan. Adapun  susunan  kegiatannya, pertama adalah pembukaan yaitu:  Berbaris,  membaca  surat Al-Fatihah,  Syahadat  dan  hafalan  doa-doa. Ke  dua adalah kegiatan  inti yaitu: Melengkapi  kalimat  sederhana,  menelusuri  jejak  dan  menganyam  kertas.  Ke  tiga adalah istirahat  yang diisi kegiatan makan dan bermain bersama.  Ke  empat,  penutup  yang  diisi nasehat- nasehat ustadzah dan berdoa bersama.

Hamdan mengikuti  kegiatan  di  kelompok  B. Faruq dan  Adil bermain  di  teras  TK.  Sambil memandu kegiatan di kelompok B , aku mengawasi Faruq dan  Adil bermain.  Mereka sering terlihat mondar-mandir  dari  teras  TK  ke  ruang  kelompok  B.  

Ketika istirahat dan aku sedang  sibuk  mengerjakan  administrasi  TK,  Hamdan  berteriak,"Umi, Adil  naik  perosotan!"  Serta merta aku  menghentikan  pekerjaanku. Lalu aku  cepat-cepat  berlari  menuju  arena  bermain.  Aku   terus-menerus  memohon  kepada-Nya  agar  Adil dilindungi-Nya.  Ketika aku sampai  di  depan perosotan, Adil tertawa- tawa.  Mungkin karena berhasil  mencapai  puncak   perosotan.    
     
Pukul  sebelas  semua warga  TK  pulang  kecuali  aku  dan  anak-anakku.  

Sambil menunggu waktu salat zuhur,   aku dan Hamdan membersihkan TK. Sementara itu Faruq dan Adil bermain. Saat  azan   zuhur berkumandang, Hamdan bergegas ke masjid untuk salat zuhur.  Sedangkan aku salat  zuhur di asrama puteri.

Selesai salat, suamiku mengajak kami pulang. Karena tak punya ongkos untuk naik ojek maka kami pun  pulang  berjalan kaki. Sambil berzikir dan sholawat kami menyusuri jalan Patirana hingga tak terasa kami sudah sampai rumah.

Satu tahun kemudian. Hamdan masuk SD kelas satu. Dan tak lama setelah duduk di bangku SD kelas satu, sesuatu menimpa Hamdan.  

Selepas mengajar TK, seorang wali santri mengabariku bahwa Hamdan ada di RSUD.  Sampai di sana, aku mendapati tubuhnya sudah terbujur kaku di kamar jenazah RSUD.  Truk  yang melintas di depan sekolahnya telah merenggut nyawanya.

 "Innalillahi wa innalillahi roji'un! Sesungguhnya kita milik Allah dan akan kembali kepada-Nya" Ucapku begitu melihat jenazah Hamdan. Seketika itu juga Allah azza wa jalla memberiku kekuatan.  Meski kebahagiaanku terusik karena kepergian buah hatiku  tercinta untuk selamanya tetapi aku berusaha menerima takdir-Nya.

Kata  seorang ustad di Pesantren jika aku bersabar pada benturan pertama maka kelak Dia akan membangunkan Baitul Hamdi untukku di Surga. Semoga saja demikian. Aamiin Yaa Robbal'alamin.

Seminggu setelah kepergian Hamdan ke surga, aku kembali bekerja sebagai guru TK. Aku tidak bisa membayangkan jika aku tak segera kembali beraktivitas sebagai guru  TK. Mungkin aku akan menjadi gila. Seperti seorang ibu di rumah sakit jiwa yang menjadi gila setelah menyaksikan anaknya ditabrak truk.
 Bondowoso, 28-11-2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun