Mohon tunggu...
Ummu Fathur
Ummu Fathur Mohon Tunggu... Guru - Mencerdaskan

Mendidik mencerdaskan umat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Negara Korporatokrasi, Ngeri!

15 Februari 2020   08:49 Diperbarui: 15 Februari 2020   08:49 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Negeri kita Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat melimpah. Dimulai dengan aneka biota laut yang dimiliki wilayah perairan kita sebesar 7,9 juta km2, perkebunan, pertanian yang berasal dari tanah Indonesia yang terkenal dengan kesuburannya, hingga barang tambang, seperti petroleum, timah, gas alam, batu bara, nikel, tembaga, emas, serta berbagai sumber daya alam lain yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. 

Namun di sisi lain kekayaan tersebut, justru kita dihadapkan dengan pemandangan kemiskinan yang ada di mana-mana. Masyarakat mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan hidup hingga masih terkategori sebagai rakyat miskin. 

Sebesar 22 sampai 25 juta penduduk Indonesia yang terkategori miskin sebenarnya dapat menjadi berlipat apabila standar kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (BPS) berubah, dimana contohnya di Jawa Barat penduduk yang masuk kategori 'miskin' adalah mereka yang berpengeluaran di bawah nilai garis kemiskinan daerahnya yaitu Rp386 ribu per bulan (BPS, 2017). 

Hasil tersebut dikuatkan dengan laporan Global Food Security Index (GFXI) pada tahun 2018 yang menempatkan Indonesia pada peringkat 68 dari 113 negara, dimana posisi tersebut lebih rendah dari negara tetangga kita seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam. Analisis menyebutkan bahwa tingkat akses makanan yang rendah di Indonesia adalah salah satu penyebabnya (bisnis.tempo.com).

Secara keseluruhan, pengelolaan sistem Negara yang buruk ditengarai menjadi biang keladi dalam tidak terjaminnya kesejahteraan rakyat Indonesia. Sistem Negara Demokrasi dimana kekuasaan berada di tangan rakyat sejak dulu tidak terlihat bisa berjalan sesuai landasannya. Kebijakan dan peristiwa yang muncul justru berpotensi menambah tinggi angka kemiskinan dan kontra kekuasaan rakyat. 

Contohnya, Perusahaan Umum (Perum) Badan Urusan Logistik (Bulog) milik pemerintah baru-baru ini melaporkan sebanyak 20.000 ton beras telah mengalami disposal stock atau pembuangan stok beras. Setelah ditelusuri ternyata pembuangan beras tersebut bukan tanpa alasan, namun karena terdapat penurunan mutu yang terjadi pada beras-beras tersebut. 

Penurunan mutu tersebut memiliki standard yang mengacu pada Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 38 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Dimana dalam regulasi tersebut, disebutkan apabila batas waktu simpan melampaui 4 bulan maka akan terjadi penurunan mutu sedangkan 20.000 ton beras tersebut telah melewati batas waktu, bahkan hingga mencapai 1 tahun. 

Sehingga tidak aneh Bulog memutuskan untuk membuang beras tersebut. Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa bisa sampai berdiam selama 1 tahun? Selidik punya selidik terdapat kartel atau mafia beras yang bersembunyi, hal tersebut sangat terlihat dari kebijakan impor beras yang tidak pernah bisa ditahan pemerintah periode manapun. 

Padahal, stok beras nasional yang ada di gudang Bulog masih tersedia mencukupi. Bahkan, menurut Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso alias Buwas pasokan beras cukup untuk kebutuhan domestik, dan diprediksi mampu memenuhi kebutuhan beras dalam negeri hingga 2020 (Kumparan, CNBC Indonesia). Mirisnya akibat dari pembuangan ini negara harus merugi sebesar Rp 160 miliar. Ini tentu sangat menyedihkan di tengah peliknya perekonomian dan hutang Indonesia yang terus membengkak.

Di bidang kesehatan, pemerintah juga menaikkan iuran BPJS Kesehatan hingga dua kali lipat yang berlaku awal tahun 2020. Kebijakan itu juga diperparah dengan ancaman mengejar penunggak iuran kesehatan hingga tidak bisa memperpanjang SIM. Defisit anggaran selalu menjadi topeng yang digunakan pemerintah untuk melegalkan niatnya untuk menaikkan iuran kesehatan rakyat di negerinya sendiri. 

Di sisi lain kesehatan perkembangan HIV AIDS di Indonesia yang sudah meningkat tajam terutama di kalangan remaja. Tentunya ini berkaitan dengan kebijakan mengenai status LGBT di Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata. Begitu juga kerusakan yang diakibatkan sangat dibutuhkan adanya tindak tegas negara. 

Mereka juga bukan sekedar permasalahan pribadi, tetapi sudah menjadi gerakan global yang terus menyebar. Telah nyata, keberadaannya kini sudah sampai pada kondisi mengancam generasi. Namun entah mengapa sampai saat ini justru seolah difasilitasi segala pergerakannya atas nama hak asasi.

Selain itu, pengelolaan sumber daya alam lain di ujung wilayah Indonesia pun selalu menjadi sorotan apabila membahas mengenai Freeport. Karena Miliaran US dollar dapat dihasilkan dari eksploitasi tambang tembaga, perak dan emas di Freeport. 

Namun bagaimana dengan kondisi rakyat Papua yang ada di sana? Umumnya tetap hidup dalam kemiskinan. Lagi-lagi bukannya pemerintah menghentikan hal tersebut, justru kerjasama MOU yang baru telah terjalin, meski 51% didapatkan, apalah artinya apabila itu semua sebenarnya adalah milik Indonesia.

Di seluruh negeri dengan asas kapitalisme dan Indonesia khususnya, demokrasi dijadikan alat penjajahan tak kasat mata terdapat Negara dunia ketiga terutama negeri kaum muslimin. Kekuasaan mereka bisa melenggang mulus melalui kebijakan dan pembuatan undang-undang yang semakin melegalkan pengaruh asing terhadap kekayaan alam Indonesia. 

Sektor-sektor yang memenuhi hajat hidup rakyat dibangun bukan berlandaskan pelayanan penguasa terhadap rakyatnya. Sebaliknya, pemerintah mengelola dan menggandeng swasta semata untuk mendapatkan keuntungan.

Busro Muqoddas, mantan pimpinan KPK, Indonesia menuju negara korporatokrasi karena hampir seluruh program pembangunannya menggandeng swasta. Mantan Menteri Bidang Kemaritiman, Dr Rizal Ramli, menyetujui dengan memberi istilah bahwa Negara Indonesia sedang menganut system Demokrasi Kriminal. (rmoljabar.com). 

Maka tidak heran jika pemerintah mengusahakan dan terus menelurkan kebijakan pro investasi. Bahkan Pemerintah mewacanakan menghapus analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) dan izin mendirikan bangunan (IMB) demi kelancaran investasi. Artinya, kerusakan lingkungan dan jeritan warga tak dipedulikan sama sekali. 

Sebut saja kasus penggusuran daerah Tamansari yang terjadi beberapa pekan ini. Sengketa lahan di Tamansari yang sudah terjadi sejak tahun 2017, bermula dari pemerintah Kota Bandung yang mengklaim lahan tersebut merupakan aset mereka, padahal sudah lebih dari 30 tahun pemukiman warga berdiri disana dan pajak pun terus mengalir. Pemkot Bandung merencanakan tahun 2019 Lahan yang terletak di bawah Jembatan Pasupati tersebut direncanakan akan dibangun rumah deret.

Periode ke periode, semakin terlihat bentuk kekuasaan politik semakin terlihat bahwa secara efektif hanya dipegang elite terbatas. Mereka adalah pihak-pihak berkepentingan yang memberikan kontribusi dan suntikan dana luar biasa bagi kemenangan penguasa dalam ajang pemilu ataupun masa sebelum itu. 

Sehingga semakin menguatkan rezim oligarki yang sedang berjalan saat ini. Hal tersebut tak dapat dipungkiri karena 'mahal'nya biaya pemilu dan berapa banyak uang yang harus dikembalikan bahkan dilipat gandakan demi kekuasaan dan kekayaan para elit pengusaha tersebut. 

Pernyataan ini didukung oleh Donal Fariz, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menegaskan bahwa problem yang dihadapi dunia saat ini adalah distrust demokrasi karena penerapan politik oligarki. Fenomena dinasti politik yang meniscayakan hadirnya budaya nepotisme.

Bentuk negara korporatokrasi yang dimiliki elit tertentu pun semakin muncul tidak hanya di Indonesia seiring dengan kapitalisme global yang semakin kuat mencengkeram dunia. Korporasi membutuhkan sejumlah kebijakan yang mampu memuluskan dan mengamankan bisnis para elit tersebut.

Korporatokrasi pada dasarnya merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai unsur kekuasaan, yakni korporasi-korporasi besar, partai politik, perbankan internasional, kekuatan militer, media massa, kaum intelektual yang telah terkooptasi dan elit nasional yang bermental komprador, pada level nasional maupun global untuk mencapai suatu tujuan kolektif.

John Perkins dalam an Economic Hit Man menggunakan istilah korporatokrasi untuk menunjukkan bahwa dalam rangka membangun imperium global, berbagai korporasi global, bank, dan pemerintahan bergabung menyatukan kekuatan finansial dan politiknya untuk memaksa masyarakat dunia mengikuti kehendak mereka.

Sistem korporatokrasi yang bersembunyi di balik demokrasi ini telah menjadi perampok kekayaan alam Indonesia. Perampokan tersebut dilakukan oleh perusahaan swasta atau segelintir pengusaha-pengusaha yang kaya tak terhitung.

Para pendukung demokrasi meyakini bahwa demokrasi Indonesia masih bisa diperbaiki. Perbaikan yang mereka maksud pada tahap substansi seperti kembali pada arti sebenarnya demokrasi atau demokrasi sesuai pancasila. Menurut para akademisi atau lembaga pengarus demokrasi, masalah politik yang terjadi saat ini adalah karena Indonesia masih sibuk dengan demokrasi prosedural. 

Seperti pelaksanaan pemilu dan mekanisme dalam parpol yang bebas praktik money politics dan kecurangan yang mengaburkan kepentingan rakyat. Dinasti politik yang amat rawan korupsi harus diganti dengan "merit system' yang menekankan pertimbangan kompetensi sebagai dasar pemilihan kandidat penguasa.

Lalu bagaimanakah Negara menyelesaikan masalah yang ada saat ini? Partisipasi masyarakat secara langsung dan aktif seperti melalui komunitas, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM), Corporate Social Responsibility (CSR) hingga peran ulama dianggap sebagai solusi yang dapat menuntaskan permasalahan di Indonesia, mulai dari kesehatan, pangan, pendidikan hingga ekonomi. Padahal pada hakikatnya itu adalah peran Negara. Peran Negara yang mulai dibebankan kepada rakyat yang peduli.

Karena itu, menghentikan semua permasalahan  politik itu --baik masalah prosedur pemilu hingga cengkeraman oligarkis dalam pemerintahan korporasi-- hanya bisa terjadi dengan mencampakkan demokrasi. Sistem kapitalisme dengan sistem politik demokrasinya merupakan ancaman nyata bangsa ini. Bukan narasi radikalisme yang terus diteriakkan oleh rezim sebagai suatu ancaman bangsa.

Berharap pada sistem kapitalisme yang beraqidah sekulerisme, bukanlah solusi mendasar menyelesaikan persoalan korporatokrasi ini. Islam memiliki tatanan politik yang menjamin praktik perpolitikan pasti bebas dari kepentingan nafsu duniawi.

Dengan menerapkan syariat kaffah, Negara tak akan memberi ruang bagi kejahatan korporatokrasi dan semua turunan dari demokrasi untuk memberikan kekuasaan kepada tangan asing.. Tentu saja, jika Islam dijadikan landasan dalam kehidupan individu, masyarakat, dan negara.

Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta'ala yang berbunyi:

"Dia-lah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai". [At-Taubah/9 : 33]. Wallahu a'lam.

By. Citra Amalia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun