Mohon tunggu...
Ummu Fatimah
Ummu Fatimah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Do the best

Speak your idea for the better future

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Masifnya Korupsi di Negeri Tersekulerisasi

11 Januari 2025   22:29 Diperbarui: 11 Januari 2025   22:29 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

 

            Masyarakat Indonesia akhir tahun 2024 di hebohkan dengan putusan pengadilan atas korupsi tambang timah yang merugikan negara senilai 271 T. Pengadilan memutuskan terdakwa dikenai hukuman 6,5 tahun penjara dan denda 1 Milyiar rupiah (CNBC.Indonesia 23/12). Hukuman yang diberikan dinilai sangat tidak sesuai dengan kerugian yang dialami oleh negara. Pasalnya, jika dibandingkan dengan kasus lain seperti kasus nenek Asyani yang didakwa mencuri tujuh batang kayu jati, akan terlihat ketimpangan yang nyata. Nenek Asyani saat itu putuskan oleh pengadilan dikenai hukuman bui selama 7 tahun, waktu yang lebih lama dibandingkan korupsi Timah senilai trillyunan rupiah (Kumparan.com, 2/1). Fakta ini menambah deret buram penuntasan korupsi di Indonesia. Hukuman yang diberikan dinilai tidak mampu menjerakan bahkan masyarakat banyak membuat parodi "mending korupsi, asal mapan dan kaya".

Jerat Hukum Sekuler 

            Faktanya permainan sanksi terdakwa korupsi ataupun tindak kejahatan lain sering dipertontonkan dimuka publik. Masyarakat sudah tidak kaget dengan narasi hukum bisa dimanipulasi sesuai kepentingan sana sini. Hakikatnya, hukum merupakan alat untuk mengedukasi masyarakat agar tidak melakukan tindak kejahatan ataupun penyimpangan. Hukum dengan sifat tegas dan mengikat harus mampu memberikan dampak "menjerakan" dan "menakuti" orang orang yang sudah melakukan ataupun belum melakukan tindak kejahatan, termasuk korupsi di dalamnya.

            Namun, kenyataan mengapa hukum hari ini mudah untuk dimanipulasi, berkaitan erat dengan paradigma sekuler yang telah mengakar pada sistem peradilan khas negara Kapitalisme sekuler. Sekulerisme sebagai paham yang memisahkan agama dari kehidupan termasuk dalam aspek hukum, menghasilkan konsekuensi bahwa setiap pihak boleh menentukan standart hukumnya masing masing. Hal ini, mengakibatkan ukuran hukuman yang diperoleh terdakwa tidak jelas sebab tidak memiliki parameter apapun. Sehingga hukuman yang diberikan bisa disesuiakan dengan kepentingan dan kebutuhan. Paradigma ini juga mendorong terbentuknya pasal pasal karet pada undang undang.

            Contohnya adalah Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagai salah satu pasal yang menjerat terdakwa korupsi 271 T. Pada pasal ini disebutkat 1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 

            Berdasarkan pasal tersebut, hakikatnya hukuman yang dikenakan pada terdakwa masih belum jelas, karena dalam rentang waktu tertentu yang ditentukan oleh variabel yang berbeda. Pada kasus korupsi tersebut, variabel keringana hukuman yang diperoleh terdakwa juga dirasa kurang rasional. Seperti, keringanan karena terdakwa bersikap sopan dan memiliki tanggungan keluarga. Padahal setiap pelaku kriminal juga bisa memiliki variabel diatas akan tetapi tidak pernah digunakan sebagai alasan meringankan hukuman, sebagaimana yang dialami oleh Nenek Asyani dalam kasusnya.

            Inilah bukti nyata, bagaimana sistem peradilan yang menggunakan paradigma sekulerisme menimbulkan ketidakadilan hukum karena sarat akan manipulasi hukum itu sendiri. Sebab, manusia hakikatnya memiliki kecenderungan untuk memanipulasi peraturan demi keuntungan ataupun kepentingan dirinya ataupun kelompok. Efeknya sistem peradilan akan semakin mengalami kemandulan diikuti oleh banyaknya pihak yang memanfaatkan kemandulan ini untuk semakin memeras uang rakyat. Bukan menjadi hal yang aneh jika korupsi akan terus mewabah di negeri kapitalisme sekuler.


Sistem Peradilan Berparadigma Islam

            Paradigma Islam memberikan gambaran sistem peradilan yang ideal selama berabad abad. Islam memandang sistem peradilan bersifat zawajir (menjerakan) dan jawabir (penebus). Sistem ini tidak hanya dibangun oleh undang undang semata dengan sanksi yang jelas, akan tetapi didukung dengan adanya edukasi di tengah masyarakat tentang standart hidup yang benar.

            Sistem peradilan Islam dibangun diatas sistem politik Islam yang mewajibkan negara sebagai pengurus rakyat, mengemban amanah dari rakyat yang akan dipertanggung jawabkan dihadapan Al Mulk Allah Subhanahu Wataala, didukung oleh sistem ekonomi Islam yang mengharuskan negara untuk menjamin kebutuhan primer individu (sandang, pangan, papan), da kebutuhan primer masyarakat (pendidikan dan kesehatan) menggunakan dana kas negara. Negara wajib menghidupi masyarakat menggunakan dana kas yang diperoleh dari pengelolaan sumber dana atas nama negara dan pengelolaan sumber dana masyarakat seperti pemanfaatan sumber daya alam (SDA) bukan diprivatisasi oleh swasta taupun asing.

            Dua aspek ini akan mendukung negara untuk memberikan pendidikan terbaik dengan visi pendidikan bukan hanya menghasilkan manusia dengan banyak skill tetapi juga manusia yang memiliki prinsip hidup, mampu membedakan benar dan salah dengan standart Islam atau bersyaksiyah Islamiyah. Sistem pendidikan ini tidak akan mencetak manusia yang manipulastif dan egois, individualis dan materialis, karena telah dididik bahwa standart hidup yang benar bukan berlandaskan atas materi tetapi kembali pada hakikat penciptaan manusia sesuai yang Allah Al Khaliq inginkan.

            Generasi semacam ini akan melahirkan sistem sosial yang saling mengoreksi untuk tetap diajalan kebenaran. Bahkan mampu membangun suasana ketaqwaan bukan suasana kejahatan, sehingga meminimalisir seorang individu untuk melakukan tindak kejahatan sebagaimana korupsi. Selain itu, generasi yang dididik untuk bersyaksiyah Islam akan menjalankan hukum sebagai sistem peradilan Islam atas dasar ketaqwaan kepada Allah Al Mudabbir. Sehingga tidak akan melakukan manipulasi hukum demi kepentingan dirinya ataupun kelompok. Dengan demikian terciptalah sistem peradilan yang benar benar mampu menegakkan keadilan di tengah masyarakat.  Oleh karena itu, sudah saatnya untuk mencampakkan sistem kapitalisme sekuler dari negeri ini dan beralih pada sistem Islam yang mampu mewujudkan keadilan hakiki. Wallahualam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun