Keghoiban merupakan sesuatu yang sulit untuk dipercaya karena ketidaknampakan nya. Tidak mudah bagi kita meyakini apa yang tidak terlihat. Apalagi bagi anak-anak kita. Padahal jika konsep keghoiban ini melekat pada diri anak dan pemuda, maka menjadi ssebuah jaminan akan kebaikannya di kemudian hari.
Beriman kepada yang ghoib (tidak terlihat) menjadi suatu keniscayaan karena Tuhan yang kita sembah pun sifatnya ghoib. Maka menanamkan keimanan pada yang ghoib menjadi hal penting yang perlu diperhatian setiap orangtua.
Ketika konsep keghoiban ini tertanam baik pada diri anak dan pemuda, maka ia akan menjadi alat kontrol yang luar biasa dahsyat efektifitasnya dibanding segala teknologi seperti cctv, alat pelacak dan sebagainya. Dalam Islam, kita harus memiliki 2 kontrol; kontrol fisik dan kontrol spiritual. Kontrol spiritual bahkan lebih sulit dari kontrol fisik.
Banyaknya cctv yang seakan lazim ada di mana-mana kini pun, tidak kemudian cukup efektif membuat seseorang enggan melakukan hal yang tidak baik. Maka akan sangat melelahkan bagi kita orangtua, karena kita pastinya tidak bisa mengawasi anak-anak kita selama 24 jam penuh untuk menjaganya tetap dalam kebaikan. Padahal, saat ini kondisi anak-anak sekitar kita disuguhi beragam hal melalui teknologi melalui gadget, televisi. kebaikan dan keburukan semuanya tersedia, bebas memilih.
Maka, kontrol hati dengan konsep keghoiban ini lah yang tidak ada.
Sayangnya, pendidikan kita saat ini tidak terlalu peduli pada konsep keghoiban ini, bahkan dianggapnya tidak baik karena anak-anak dianggap dalam masa berpikir konkrit sesuai teori perkembangan Piaget yang sering dijadikan landasan teori dalam proses belajar.
Anak-anak dianggap hanya bisa mencerna yang nyata, otaknya dianggap belum siap, mereka sedang membuang sesuatu yang amat berharga.
Mari kita mengingat bagaimana seorang Abdullah bin Abbas. Putra paman Rasulullah yang pernah beliau doakan,
“Ya Allah,pahamkan dia terhadap agama dan ajarilah ia ilmu tafsir”.
Atas ijin Allah, do'a Rasulullah ini mengantarkannya menjadi seorang yang pakar dalam tafsir Alquran dan pakar dalam ilmu agama lainnya, hingga beliau digelari “Habrul Ummah” (Ahli Ilmu Umat ini). Pemuda yang juga bergelar al bahru (samudera ilmu) ini dilahirkan tiga tahun menjelang peristiwa Hijrah nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan meninggal dunia pada tahun 67 atau 68 hijriyah.
Hal yang Rasulullah ajarkan pada Abdullah bin Abbas yang saat itu masuh kecil, sekitar usia SD, adalah hadits berikut
Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, niscaya kau dapati Dia di hadapanmu. Jika engkau hendak meminta, mintalah kepada Allah, dan jika engkau hendak memohon pertolongan, mohonlah kepada Allah. ”
Kalimat kalimat yang diajarkan Rasulullah pada Ibnu Abbas ini mengajarkan agar anak bergantung hanya pada Allah, meski Allah itu ghoib karena tidak terlihat, bukan berarti sosoknya tidak ada, Ia bahkan bisa menjaga, memenuhi permintaan bahkan menolong kita.
Kemudian, bagaimana cara menjaga Allah? Apa yang dimaksud akan kita dapati Allah di hadapan?
Seorang anak yang telah terbiasa meyakini keghoiban, mampu menggambarkan sesuatu yang tidak mampu ia dapati secara nyata. Mereka akan memahami makna kalimat dalam hadits di atas lebih baik dari orangtua. Mereka bisa begitu dekat dengan Allah dalam makna yang dia munculkan dalam dirinya sendiri.
Akibatnya, kecintaan, kekaguman, kerinduan, yang kemudian berefek pada timbulnya ketaatan serta rasa pengawasan dari Allah akan meliputi seluruh kehidupan mereka.
Kemudian nabi pun melanjutkan kalimatnya,
Ketahuilah, seandainya seluruh umat bersatu untuk memberimu suatu keuntungan, maka hal itu tidak akan kamu peroleh selain dari apa yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan andaipun mereka bersatu untuk melakukan sesuatu yang membahayakanmu, maka hal itu tidak akan membahayakanmu kecuali apa yang telah Allah tetapkan untuk dirimu. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering
Konsep keghoiban lagi-lagi ditancapkan. Membangun keyakinan bahwa konspirasi apapun yang dilakukan manusia dan seagala makhluk di bumi ini sebanyak serta sebesar apapun tidak akan mampu mempengaruhi kita jika Allah tidak menghendakinya, baik itu kebaikan ataupun keburukan. Jika bukan yang Allah takdirkan, tidak akan berhasil dilakukan. Sehingga tertanam, apa yang terjadi, adalah hasil dari yang Allah kehendaki, dan yang Allah kehendaki, pasti kebaiakan untuk hambaNya.
Jika hal ini tertanam baik pada generasi anak-anak kita, bisa dibayangkan, bahwasanya mereka akan mampu kuat, tegar, tidak bersandar pada makhluk dan tidak mudah menyalahkan kondisi. Mereka yakin bahwasanya mereka punya Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H