Mohon tunggu...
ummi hasanah
ummi hasanah Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

Berusaha melatih diri untuk terus menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bukan Perihal Diri Sendiri

30 Maret 2023   17:41 Diperbarui: 30 Maret 2023   17:42 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kraksaan, 17 Agustus 2025 

Sayup-sayup terdengar genderang yang ditabuh

Disusul langkah kaki yang melaju tanpa ragu

Bukan laju biasa, langkahnya diajak berlari tanpa mengenal waktu

Terbakar semangat hingga memenuhi kalbu

  

Jeritan kian lantang

Perjuangannya tak sama sekali nampak gamang

Mereka berjuang

Berharap Tuhan memberikan kemenangan untuk dibawa pulang

  

Tanah ini, tanah Indonesia

Yang tak pernah berhenti menarik perhatian dunia

Kepulauan indah, tanah air kiriman nirwana

Bumi kita, sumber cinta tiada tara

  

Tanah surga, Indonesia

Berdiri di atas jerit dan air mata

Yang menumpahkan darah, lantas mematahkan tulang dalam perebutannya

Izinkan diri ini memeluk nusantara segenap jiwa, hingga raga tutup usia.

  

Berlian Cantika Putri Kusuma

Kraksaan-Probolinggo, 17 Agustus 2025

  

  

"Aku tau di negara kita keadilan memang sangat langka, dan aku yakin kamu pun sudah sangat paham. Jadi, apa gak bisa kamu menerima ini dengan lapang dada, Lian? Lagipula tetap kamu yang akan menerima penghargaannya nanti. Hanya saja, ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan yang dikehendaki. Kita semua tidak menginginkan ini, kuharap kamu mengerti."

***

Menerima dengan lapang dada?

Cih...

Seorang gadis muda meremas kertas putih di tangannya. Wajahnya sembab, penuh dengan air mata. Awalnya air mata itu jatuh mengenai rentetan kata yang tercetak di kertas yang ia pegang. Ia membaca tulisan yang termaktub disana berulang kali. Tak ada yang salah. Gadis itu merasa memang miliknya yang paling pantas dibacakan disana.

Puisi sang juara. Seharusnya memang puisi miliknya yang akan diperdengarkan kepada seluruh pasang telinga yang ada di sana.

Ia kesal. Sangat kesal, namun tak mampu berbuat apa-apa. Yang bisa ia lakukan hanya meremas kertas yang ia genggam setelah beberapa tulisan mulai tak terbaca, sebab air mata mengaburkan kata-kata yang tertera di atasnya.

Harusnya mereka paham sebanyak apa yang ia perjuangkan. Seharusnya mereka mengerti bahwa untuk sampai di titik ini bukan hal yang mudah. Seenaknya menyuruh untuk menerima dengan lapang dada. Berbicara memang semudah itu. Padahal tau, bahwa semua itu bukan hal yang benar untuk dilakukan.

Ah...

Orang yang berkuasa memang semena-mena. Mereka bisa dengan mudah merampas hak milik kita. Mereka bisa melakukan hal yang nampak mustahil semudah membalikkan telapak tangan. Gadis itu tahu, keadilan memang mulai dilupakan. Ia paham bahwa yang diatas bisa dengan mudah menindas, sedangkan yang di bawah hanya bisa menerima dengan ikhlas. Ia mengerti tentang itu semua, namun dirinya masih belum percaya bahwa masalah ini bisa menimpanya.

"Neng Lian yang sabar, ya. Mama sama papa neng pasti bangga sekali walaupun mereka ndak jadi liat neng di tv. Bang ucok udah liat penampilan neng Lian yang pas final itu, keren banget. Jadi walaupun ndak jadi tampil di sana, neng Lian sudah jadi juara toh," ucap supir keluarga gadis itu terdengar pelan, mencoba menghibur Lian yang tampak sangat terpukul. Ia pun tahu, tidak seharusnya ini terjadi. Namun mau bagaimana lagi, ia sama sekali tak memiliki kendali. Jika bisa sebenarnya ia ingin menuntut keadilan yang seharusnya. Jika bisa...

"Lian muak sama mereka, Bang. Mereka seenaknya banget," sanggah Lian sesenggukan.

Harusnya hari ini menjadi hari yang bersejarah. Meskipun memang seharusnya begitu, hari ini adalah hari bahagia bagi seluruh rakyat Indonesia. Awalnya Lian juga begitu, ketika bangun tadi pagi ia begitu bersemangat. Melakukan segala kegiatan sebelum berangkat dengan penuh sukacita, membayangkan bagaimana ia nanti akan membacakan puisi miliknya di depan seluruh peserta upacara membuatnya sangat bahagia. Memenangkan lomba puisi tingkat kabupaten saja sudah membuatnya sangat bangga, apalagi dengan tambahan hadiah yang tidak terduga itu. Rasanya ia menjadi orang yang paling bahagia di dunia.

  

Pagi tadi orang tuanya berjanji akan menonton siarang langsung yang meliput prosesi upacara, sebab mereka berhalangan untuk hadir langsung. Mereka terlihat sangat bangga dengan putri semata wayangnya. Yang awalnya menyabet juara pertama lomba puisi tingkat kabupaten dengan tema kemerdekaan, hingga akhirnya dikabarkan akan diundang untuk membacakan puisinya di tengah-tengah prosesi upacara kemerdekaan. Di depan seluruh peserta upacara, juga di depan orang nomor satu di tempat tinggalnya.

Namun, sekarang semuanya tidak ada yang tersisa. Harapannya dimusnahkan begitu saja, seolah-olah dirinya tak punya perasaan yang tentu sakit jika diperlakukan demikian. Lian juga khawatir dengan reaksi orang tuanya disana, entahlah semoga saja mereka tidak kecewa.

Disini ia berteman dengan air mata. Setelah melarikan diri dari kerumunan yang sibuk mempersiapkan segala rupa persiapan upacara. Ia memutuskan untuk tidak lagi mengikuti upacara kemerdekaan. Persetan dengan upacara, ia tidak lagi peduli. Para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan pun tidak akan setuju dengan segala ketidakadilan ini.

Katanya, yang akan menggantikan gadis muda itu untuk membacakan puisi adalah keponakan Bupati Probolinggo. Ah, ralat---bukan menggantikan, namun memaksa untuk menggantikan. Entah ia menggantikan karena lebih pantas, atau memang maju karena yang lemah memang sangat mudah untuk ditindas.

Lapangan telah ramai. Semua peserta upacara memasuki tempat yang telah disiapkan. Dari dalam mobil yang diparkir di depan masjid yang berdiri di sebelah barat alun-alun, nampak sangat jelas bagaimana acara mulai berlangsung. Ketika melihat inspektur upacara memberi laporan kepada pembina upacara, suara tangisan yang sudah berhenti itu kembali terdengar. Sekarang sesenggukan yang belum usai bertambah parah. Bahu gadis itu berguncang beriringan dengan air mata yang mengalir semakin deras. Remasan kertas yang ada di tangannya pun sudah tidak jelas bagaimana bentuknya.

Bang Ucok yang duduk diam di balik kemudi hanya bisa menatap anak majikannya prihatin dari kaca spion depan. Ia tidak tega, namun juga tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa berdoa, semoga Tuhan melihat bagaimana tangis hambanya yang teraniaya lantas memberi balasan yang setimpal setelahnya.

"Neng, bang Ucok keluar dulu, ya? Sebentar lagi benderanya mau naik, Abang mau kasih hormat dulu. Neng Lian kalau mau tetep di dalam juga gak apa-apa." Bang Udin benarbenar pergi setelah berpamitan. Ia ragu ingin keluar atau tetap menemani. Namun ia memutuskan untuk keluar sejenak. Hari ini adalah hari kemerdekaan, hari yang memperingati bagaimana hebatnya perjuangan para pahlawan. Meskipun saat ini di negerinya penuh kebodohan dan pengkhianatan, bukan berarti ia harus meninggalkan.

Meskipun tidak bisa berjuang melawan ketidakadilan, setidaknya ia akan berdoa kepada Tuhan agar surga di negerinya tetap abadi sampai ujung masa.

Lian termenung di dalam mobil, ia melihat Bang Ucok yang keluar dari mobil lantas berdiri menghadap ke arah bendera merah putih yang akan dikibarkan. Disampingnya ada seorang anak kecil yang juga berdiri menghadap ke arah yang sama, ia melepas kardus tempat minuman dan makanan yang ia jual dari lehernya, meletakkannya di samping kaki lantas kembali menghadap kearah lapangan. Di sampingnya lagi ada seorang nenek tua bersama seorang pemuda yang baru saja keluar dari masjid ketika bendera hendak dikibarkan. Mereka bersiap untuk memberikan sebuah penghormatan.

Menyaksikan semua itu membuat Lian terkekeh sembari menghapus setetes air mata yang baru saja terjatuh dari sudut matanya. Ternyata dirinya payah.  Ternyata dirinya belum bisa menjadi rakyat yang mencintai negerinya dengan penuh. Hanya karena satu masalah kecil, ia sudah menyerah sembari berkeluh susah. Tidak tahukah ia dengan perjuangan para pahlawan dulu? Tidak  pahamkah ia bahwa sejak dulu kala memang ketidakadilan merebak dimana-mana? Tidak malukah ia dengan orang-orang yang mungkin juga telah mengalami berbagai ketidakadilan di negerinya---atau bahkan lebih, namun tetap teguh untuk memberikan penghormatan pada seluruh pengorbanan?

Oh Tuhan, maafkan Lian... 

Para pahlawan, maafkan Lian... 

Lian berjanji tidak akan berlaku seperti ini lagi, ketidakadilan memang akan terus ada entah sampai kapan. Namun, sekarang Lian mengerti bahwa perihal ketidakadilan itu tidak bisa dijadikan alasan untuk mengabaikan negeri, tidak boleh dijadikan sebab untuk melupakan segala jasa pahlawan. Karena ini bukan hanya perihal mencintai diri sendiri. 

Namun, juga ada Bhinneka yang harus dimaklumi, dimengerti, dan dicintai. 

Iya, sekarang Lian mengerti.

-Selesai-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun