Mohon tunggu...
ummi hasanah
ummi hasanah Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

Berusaha melatih diri untuk terus menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bukan Perihal Diri Sendiri

30 Maret 2023   17:41 Diperbarui: 30 Maret 2023   17:42 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ah...

Orang yang berkuasa memang semena-mena. Mereka bisa dengan mudah merampas hak milik kita. Mereka bisa melakukan hal yang nampak mustahil semudah membalikkan telapak tangan. Gadis itu tahu, keadilan memang mulai dilupakan. Ia paham bahwa yang diatas bisa dengan mudah menindas, sedangkan yang di bawah hanya bisa menerima dengan ikhlas. Ia mengerti tentang itu semua, namun dirinya masih belum percaya bahwa masalah ini bisa menimpanya.

"Neng Lian yang sabar, ya. Mama sama papa neng pasti bangga sekali walaupun mereka ndak jadi liat neng di tv. Bang ucok udah liat penampilan neng Lian yang pas final itu, keren banget. Jadi walaupun ndak jadi tampil di sana, neng Lian sudah jadi juara toh," ucap supir keluarga gadis itu terdengar pelan, mencoba menghibur Lian yang tampak sangat terpukul. Ia pun tahu, tidak seharusnya ini terjadi. Namun mau bagaimana lagi, ia sama sekali tak memiliki kendali. Jika bisa sebenarnya ia ingin menuntut keadilan yang seharusnya. Jika bisa...

"Lian muak sama mereka, Bang. Mereka seenaknya banget," sanggah Lian sesenggukan.

Harusnya hari ini menjadi hari yang bersejarah. Meskipun memang seharusnya begitu, hari ini adalah hari bahagia bagi seluruh rakyat Indonesia. Awalnya Lian juga begitu, ketika bangun tadi pagi ia begitu bersemangat. Melakukan segala kegiatan sebelum berangkat dengan penuh sukacita, membayangkan bagaimana ia nanti akan membacakan puisi miliknya di depan seluruh peserta upacara membuatnya sangat bahagia. Memenangkan lomba puisi tingkat kabupaten saja sudah membuatnya sangat bangga, apalagi dengan tambahan hadiah yang tidak terduga itu. Rasanya ia menjadi orang yang paling bahagia di dunia.

  

Pagi tadi orang tuanya berjanji akan menonton siarang langsung yang meliput prosesi upacara, sebab mereka berhalangan untuk hadir langsung. Mereka terlihat sangat bangga dengan putri semata wayangnya. Yang awalnya menyabet juara pertama lomba puisi tingkat kabupaten dengan tema kemerdekaan, hingga akhirnya dikabarkan akan diundang untuk membacakan puisinya di tengah-tengah prosesi upacara kemerdekaan. Di depan seluruh peserta upacara, juga di depan orang nomor satu di tempat tinggalnya.

Namun, sekarang semuanya tidak ada yang tersisa. Harapannya dimusnahkan begitu saja, seolah-olah dirinya tak punya perasaan yang tentu sakit jika diperlakukan demikian. Lian juga khawatir dengan reaksi orang tuanya disana, entahlah semoga saja mereka tidak kecewa.

Disini ia berteman dengan air mata. Setelah melarikan diri dari kerumunan yang sibuk mempersiapkan segala rupa persiapan upacara. Ia memutuskan untuk tidak lagi mengikuti upacara kemerdekaan. Persetan dengan upacara, ia tidak lagi peduli. Para pahlawan yang telah memperjuangkan kemerdekaan pun tidak akan setuju dengan segala ketidakadilan ini.

Katanya, yang akan menggantikan gadis muda itu untuk membacakan puisi adalah keponakan Bupati Probolinggo. Ah, ralat---bukan menggantikan, namun memaksa untuk menggantikan. Entah ia menggantikan karena lebih pantas, atau memang maju karena yang lemah memang sangat mudah untuk ditindas.

Lapangan telah ramai. Semua peserta upacara memasuki tempat yang telah disiapkan. Dari dalam mobil yang diparkir di depan masjid yang berdiri di sebelah barat alun-alun, nampak sangat jelas bagaimana acara mulai berlangsung. Ketika melihat inspektur upacara memberi laporan kepada pembina upacara, suara tangisan yang sudah berhenti itu kembali terdengar. Sekarang sesenggukan yang belum usai bertambah parah. Bahu gadis itu berguncang beriringan dengan air mata yang mengalir semakin deras. Remasan kertas yang ada di tangannya pun sudah tidak jelas bagaimana bentuknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun