Tinggal di asrama bukan perkara yang gampang, kita harus pandai membawa diri. Keterbatasan air juga menjadi kendala utama di sini, bayangkan dengan jumlah santri yang ribuan di sini hanya memiliki satu sumur besar. Tiap pagi kami berebutan air, aku sendiri untuk menghindari keramaian saat mengambil air jam  04.00 WITA aku sudah pergi ke sumur. Aku kebetulan memiliki dua ember yang aku jadikan untuk menampung air yang akan digunakan untuk mandi sebelum berangkat ke sekolah.
Di tempatku menimba ilmu model pembelajarannya adalah setiap selesai sholat subuh berjamaah kami ada sekolah Diniyah yang khusus membahas kitab-kitab seperti kita tauhid, tajwid, Nahwu, Nahwu sharap, Aqidah Akhlak, matan taqrib, Bulugul Maraam, Mahpuzot dan kitab-kitab lain-lain sesuai jadwal yang telah disusun.Â
Pembelajaran berlangsung sampai jam setengah tujuh, setelah pembelajaran selesai dilanjutkan dengan pembelajaran sekolah formal yakni Madrasah Tsanawiyah (Mts) dan Madrasah Aliyah (MA). Untuk pembelajaran formal kegiatan pembelajaran berlangsung dari pukul 07.30-13.30 WITA, pada malam harinya pembelajaran Diniyah dilaksanakan setelah sholat isya sekitar pukul 18.00 sampai pukul 21.30 WITA.
Untuk pembelajaran diniyah kami dibagi menjadi beberapa kelas sesuai dengan tingkatan masing-masing, model pengaturan kelasnya pun mirip dengan sekolah formal, kitab-kitab yang dipelajari juga disesuaikan dengan kelas masing-masing. Untuk kelas-kelas dengan level tinggi sudah bisa mempeleajari kitab-kitab gundul, ustadz-ustadz yang mengajar di sini sebagian besar adalah santri-santri yang sudah menamatkan pendidikannya di pondok pesantren ini dan dulunya memiliki prestasi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan santri-santri yang lain.
Untuk makan kami memasak sendiri sesuai dengan jadwal dan anggota kelompok yang ada. Sementara di luar jam belajar aku gunakan untuk menghafal kitab-kitab, hampir tidak ada waktu untukku untuk bermain-main. Akibat ketekunanku dalam belajar di Madrasah Tsanawiyah aku senantiasa juara diatas tiga besar sementara di Diniyah aku selalu juara satu. Bahkan aku pernah mendapatkan juara umum Diniyah suatu prestasi yang sangat membahagiakan sekaligus membanggakanku sampai saat ini.
Suatu hari suasana pagi di madrasah tidak seperti biasanya, nampak santri putra juga berada di sekolah santri putri. Akibat perbaikan gedung sekolah mereka pihak yayasan memutuskan untuk sementara waktu santri putra menumpang belajar di gedung santri putri. Peristiwa ini tentu khabar yang disambut bahagia oleh santri putri, selama ini kami hanya bertemu dengan santri putra jika ada pengarahan dari tuan guru itupun pertemuan dilakukan disebuah majelis ta'lim yang sudah disekat agar kami tidak saling melihat.
Nampak dari jauh beberapa dari mereka berbaris di depan kelas berdoa bersama sebelum memasuki area ruang kelas, mataku tertuju pada salah seorang santri yang memimpin barisan, aku meyakini dia adalah ketua kelasnya. Kulitnya sangat putih dan wajahnya pun rupawan, aku sempat terkesima melihatnya, ketika aku sedang menatapnya dari kejauhan tanpa kuduga dia juga menatapku, aku sempat salah tingkah dan langsung bersembunyi entah mengapa jantungku terasa berdebar-debar.
Sejak saat itu aku mulai jatuh cinta padanya, istilah kerennya cinta monyet. Ternyata perasaan yang kurasakan sama seperti yang dia rasakan, melalui surat cinta berwarna merah jambu dia utarakan perasaan yang dia pendam selama ini, surat itu sendiri dia titip lewat sepupunya yang kebetulan satu kelas denganku.
Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H