Aku duduk beristirahat di bawah pohon jambu, aku sengaja memisahkan diri dengan teman-teman entahlah berada di tempat ini aku merasa di bawa terbang ke masa lalu. Aku menyandarkan tubuh letihku di batang pohon jambu yang berada persis di dekat kediaman istri pertama almarhum tuan guru. Pohon ini dulu sering kami gunakan untuk bermain-main sebagai tempat kami duduk-duduk sambil bercanda dengan santri yang lain.
Anganku tiba-tiba menerawang ke masa lalu, masa-masa perjuanganku untuk sampai bisa menuntut ilmu di sini.
Pokoknya dia tidak boleh mondok, emang mau biayain pakai apa?
"Ujar ibu tiriku waktu itu."
Nanti ibu yang bantu biayanya."jawab bapakku."
Apapun alasannya tetap tidak boleh." Ucap ibu tiriku sambil berteriak dan pergi meninggalkan bapak. Bapak hanya mampu terdiam melihat sikap isterinya, entahlah aku sendiri tidak terlalu mengerti mengapa ibu tiriku tidak begitu menyukaiku padahal selama ini aku selalu berusaha menjadi anak yang berbakti dihadapannya. Namun, bapak tidak tinggal diam beliau mencoba menghubungi nenek dan beberapa anggota keluarga yang lain dan setelah melalui proses yang panjang dan musyawarah seluruh anggota keluarga akhirnya menyepakati untuk tetap melanjutkan pendidikanku di ponpes At-tohiriyah Al-fadiliyah Bodak. Aku hanya terdiam di tengah-tengah musyawarah yang sedang berlangsung, diumur yang baru menginjak 12 tahun aku belum begitu faham terhadap isi perdebatan mereka aku hanya bisa menangkap kalau bapak bersedia memberikanku izin melanjutkan sekolah ke pondok pesantren disaat tahu nenek juga akan membantu dalam membiayai sekolahku. Ibu tiriku tidak bisa berbuat apa-apa, dia hanya terdiam tanpa mampu melawan.
Pagi itu, udara pagi terasa menusuk sendi-sendi tulangku suara azan subuh membangunkanku dari mimpi indah yang begitu menghanyutkan perasaanku, aku begitu bersemangat karena hari ini aku akan berangkat mondok. Suasana pedesaan yang begitu asri dengan pemandangan yang masih alami sungguh menenangkan hati, Aku bergegas ke masjid untuk sholat subuh berjamaah, lokasi masjid tepat berada di depan rumah yang hanya terpisah oleh jalan raya memudahkanku untuk beraktivitas ke sana. Beberapa penduduk juga terlihat berbondong-bondong ke masjid untuk menunaikan ibadah sholat subuh berjamaah juga.
Setelah sinar mentari mulai menampakkan sinarnya, aku bergegas untuk mandi dan mempersiapkan segala keperluan yang akan dibawa ke pondok pesantren. Suara kicauan burung yang menari-nari di angkasa mulai meramaikan sang semesta dari kesunyian, cuaca nampak cerah, awan-awan nampak bergelantungan manja dan berjejer indah. Almarhum nenekku nampak sibuk di dapur, kakek dan pamanku juga sudah bangun semua. Aku kebetulan tinggal bersama nenekku setelah bapak memutuskan untuk menikah lagi, ibu kandungku sudah lama meninggalkan dunia fana ini tepatnya saat aku berumur sekitar dua tahunan, akibatnya aku sama sekali tidak mengenal wajah ibuku karena tidak ada foto yang ditinggalkan.
Pukul 07.30 WITA mobil yang akan mengantarkanku ke pondok sudah datang, seluruh anggota keluarga yang ikut mengantarkanku ke pondok sudah mulai berdatangan, disaat mobil baru saja akan dihidupkan nampak dikejauhan ibu tiriku setengah berlari sambil berteriak memanggil ayah, aku tak pernah menyangka dia mau ikut juga mengantarkanku, dia juga menghadiahi aku sebuah baju warna kuning. Tentu saja aku sangat senang menerimanya, saat itu baju baru merupakan barang yang langka, dalam satu tahun belum tentu aku dibelikan baju.
Sekitar satu jam perjalanan sampailah kami di pondok pesantren, suasana sangat ramai karena hari ini jadwal kedatangan santri baru dari berbagai daerah. Almarhum bapak membawaku ke kediaman tuan guru di sana, suasana dikediaman tuan guru juga tidak kalah ramai dengan di luar. Dihadapan tuan guru sekaligus pemilik yayasan pondok pesantren tersebut bapak menyerahkanku secara resmi untuk dididik, nampak mata bapak berkaca-kaca. Nasehat, pesan dan petuah beliau sampaikan kepadaku. Dalam hati aku berjanji akan menuntut ilmu dengan tekun di sini.
Sejak saat itu aku memulai kehidupanku di sini, di sebuah pondok pesantren di wilayah Lombok Tengah. Aku tinggal disebuah asrama yang dihuni oleh sekitar 30 orang perkamar, total ada 35 kamar santri putri di sini, tidak jauh dari asrama putri berdiri dengan kokoh pula asrama santri putra jumlah mereka jauh lebih banyak. Aku ditempatkan di asrama no 2 sesuai dengan daerah asal kami, beberapa teman sekamar tidak asing karena memang kami berasal dari kampung yang sama.