Tanpa kata-kata, setelah melihat Bell, Tuan Baron langsung menangis. Segala kesedihannya tumpah pada satu waktu. Di antara kencangnya embusan angin laut yang sangat dingin.Â
"Masuklah, Nak," ucap lelaki itu setelah mengusap air matanya.
Lampu minyak yang terpasang di ruangan itu hampir padam. Kapal mulai bergerak menjauh dari pantai. Mereka meninggalkan Violta tanpa mengucapkan selamat datang bahkan selamat tinggal pada siapapun. Tuan Baron terlihat lebih tua dari pada terakhir kali Bell melihatnya.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Ayah."
"Ayah senang sekali karena hari itu kau dan Rossie meninggalkan Violta. Ayah tidak tahu jika Gubernur adalah orang paling licik yang pernah Ayah temui. Semua harta yang sudah Ayah kumpulkan mereka sita dengan berbagai alasan. Orang itu bahkan memaksa ayah menikahkan putri-putri Ayah dengannya."
Perjalanan itu semakin panjang dengan kisah yang Tuan Baron hidangkan di hadapan Bell dan Leon. Keduanya mendengar dengan saksama, tanpa ada yang terlewat, Tuan Baron mengisahkan hidupnya setelah Bell dan Rossie pergi. Alih-alih menyesal, Bell justru bersyukur karena dia mengambil keputusan yang tepat dengan mengikuti Rossie untuk kabur dari Violta, meskipun alasan dua pergi dengan apa yang sebenarnya terjadi sungguh tidak sama.
Perjalanan yang panjang tidak terasa. Laut yang tenang dan cuaca yang begitu menenangkan mengantarkan kapal itu berlabuh dengan baik di pelabuhan Kekaisaran. Orang-orang berkumpul penasaran, siapa yang baru saja pulang berlayar. Kapal Kekaisaran yang megah dan mewah dengan gagah bersandar di dermaga.
Seseorang dengan pakaian rapi menyambut kedatangan mereka. Ada sebuah kereta kuda yang mewah menanti.
"Sebenarnya, Anda siapa?" tanya Tuan Baron kepada Leon.
"Selamat datang kembali, Yang Mulia, " ucap salah seorang berpakaian rapi yang menjemput mereka.Â
Tuan Baron terdiam. "Maafkan ketidaksopanan saya selama ini, Yang Mulia." Tuan Baron membungkuk memberi hormat.Â
"Saya bukan orang yang seperti itu, Tuan."
Bell mencoba menjelaskan kepada ayahnya. Dia juga baru mengetahui hal itu baru-baru ini.Â
Ada sebuah rumah yang kini dapat keluarga itu tinggali di Ibu Kota. Bangunan yang baru saja selesai di bangun tidak jauh dari pusat kota. Tidak sebesar Mansion mereka di Violta, tapi setidaknya itu cukup untuk mereka bertiga berteduh.Â
"Bukankah rumah ini bagus. Aku sendiri yang memilih tempat ini. Aku bersyukur sekali dapat mengenal sang pangeran," ucap Rossie dengan bangga.Â
"Seberapa banyak uang yang beliau berikan padamu, Ross?" Bell penasaran.Â
"Rumah ini adalah gajiku selama setahun. Aku akan makan dan hidup dadi uang yang Bell hasilkan, " ucapnya kemudian.Â
"Maafkan Ayah." Kata-kata singkat Tuan Baron mengheningkan ruangan itu.
"Tidak apa Ayah. Kita akan merebut Violta," ucap Rossie penuh percaya diri. "Kau harus menerima lamaran Leon, Bell." Rossie menatap tajam saudarinya.Â
Bell bahkan belum menerima pernyataan cinta dari lelaki itu, kata lamaran sungguh terburu-buru dalam pendengaran.Â
"Kita hanya teman," sanggah Bell. "Dia Pangeran, sedangkan aku hanya bangsawan kelas bawah."
Semua yang diucapkan Bell memang benar, tetapi cinta terkadang hanya menatap pada satu arah saja. Bell tak pandai berbohong. Dua hari setelah kejadian itu, Leon mendatangi mereka dan meminta izin untuk mengajukan lamaran. Rossie bahagia bukan main, sedangkan Bell terdiam dalam kebingungan.Â
"Bisakah kau terima saja?" protes Rossie pada Bell setelah saudarinya itu meminta waktu untuk berpikir pada Leon. "Menikah dengan Leon jelas menguntungkanmu, dia Pangeran dan mencintaimu. "
"Menikah bukan cuma soal itu, Ross!" ucap Bell dengan nada tinggi.Â
Rossie mengerutkan dahi. Kecewa. "Maaf," ucapnya lirih. Tubuhnya berpaling hendak meninggalkan Bell. "Tapi menurutku kau lebih baik Menikah dengan Leon bukan Gubernur Violta yang tamak itu. Kau harus tahu alasanku membawamu pergi, Bell. Dan itu salah satunya."Â
Bersambung.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H