"Saya bukan orang yang seperti itu, Tuan."
Bell mencoba menjelaskan kepada ayahnya. Dia juga baru mengetahui hal itu baru-baru ini.Â
Ada sebuah rumah yang kini dapat keluarga itu tinggali di Ibu Kota. Bangunan yang baru saja selesai di bangun tidak jauh dari pusat kota. Tidak sebesar Mansion mereka di Violta, tapi setidaknya itu cukup untuk mereka bertiga berteduh.Â
"Bukankah rumah ini bagus. Aku sendiri yang memilih tempat ini. Aku bersyukur sekali dapat mengenal sang pangeran," ucap Rossie dengan bangga.Â
"Seberapa banyak uang yang beliau berikan padamu, Ross?" Bell penasaran.Â
"Rumah ini adalah gajiku selama setahun. Aku akan makan dan hidup dadi uang yang Bell hasilkan, " ucapnya kemudian.Â
"Maafkan Ayah." Kata-kata singkat Tuan Baron mengheningkan ruangan itu.
"Tidak apa Ayah. Kita akan merebut Violta," ucap Rossie penuh percaya diri. "Kau harus menerima lamaran Leon, Bell." Rossie menatap tajam saudarinya.Â
Bell bahkan belum menerima pernyataan cinta dari lelaki itu, kata lamaran sungguh terburu-buru dalam pendengaran.Â
"Kita hanya teman," sanggah Bell. "Dia Pangeran, sedangkan aku hanya bangsawan kelas bawah."
Semua yang diucapkan Bell memang benar, tetapi cinta terkadang hanya menatap pada satu arah saja. Bell tak pandai berbohong. Dua hari setelah kejadian itu, Leon mendatangi mereka dan meminta izin untuk mengajukan lamaran. Rossie bahagia bukan main, sedangkan Bell terdiam dalam kebingungan.Â