Kau akan kemana, Bell? Pulang? Apa kau yakin kedua tangan ayah akan menyambut kita?" teriak Rossie di tengah keramaian dermaga.
"Pagi itu sangat cerah dengan lagit biru dan udara yang sudah semakin dingin. Sudah dipikirkan semalaman, jika tempat ini bukanlah tempatnya. Bell yang bersedih akhirnya memutuskan untuk pulang saja ke Violta.
"Apa kau seperti ini karena Leon?" tanya Rossie setelah berhasil menarik tangan Bell. Bell terdiam, seolah mengiyakan pertanyaan Rossie. "Apa dia tahu jika kau pergi?"tanyanya lagi.
"Aku tahu kau menyukai Leon. Tidak sepantasnya aku berada di tempat itu, terlebih setelah dia membohongiku."
"Maaf."
"Kenapa kau meminta maaf, Ross. Akulah yang salah di sini. "
"Tidak, akulah yang salah. Aku tidak meluruskan kesalahpahaman kita. Aku sama sekali tidak menyukai Leon. Dan sebenarnya aku sudah tahu tentang dia sejak aku tinggal di Galeri."
Bell terbelalak. "Kenapa kau tidak menceritakannya? "
"Tentu saja Leon melarangku. Dia tidak mau kau merasa tidak nyaman di tempat itu. Dia begitu menyukaimu."
Bell mengerutkan dahi. "Apa maksudmu?"
"Ya, begitulah. Sejak awal dia memang menyukaimu," ucap Rossie gugup.
"Tidak. Dia menyukaimu. Aku melihatnya, kalian berciuman saat di atas kapal."
"Kau salah sangka, Bell. Kita kita berciuman, itu tragedi yang aku sesali. Sungguh kami tidak berciuman. Apa kau sungguh akan pulang?"
Bell mengangguk.
"Bell, kumohon, tetaplah di sini. Aku punya firasat tidak baik jika kau pulang."
"Maaf, Ross. Aku hanya ingin memastikan sesuatu."
Tangan dingin Bell melepas genggaman tangan Rossie. Tidak ada pelukan, Bell terus berjalan tanpa menoleh. Batinnya tergores perih meninggalkan Rossie, tapi langkahnya terus berjalan maju meninggalkan sang saudari.Â
Leon tiba setelah kapal yang ditumpangi Bell jauh mengarungi lautan. Lelaki itu terengah-engah, keringat bercucuran di wajahnya.
"Maafkan aku, Leon." Sesal Rossie. "Tiada guna aku bersedih menatap ombak yang berulang kali menghepas dermaga, hati Bell kokoh, tidak mudah membuatnya goyah."
"Karena kau tidak dapat menahannya, sekarang giliranku untuk menjaganya."
"Kapal selanjutnya tiga hari lagi."
"Kau tidak perlu khawatir. Aku adalah anak dari sang penguasa."
"Ya, kau adalah pangeran pertama. Harusnya tidak ada yang tidak dapat kau lakukan, "ucap Rossie menyindir.Â
Bersambung......
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H