Mohon tunggu...
Umiyamuh
Umiyamuh Mohon Tunggu... Novelis - Seorang Penulis

Bukan orang penting, hanya seseorang yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Bell dan Rossie | Sebuah Rasa

1 Juli 2024   21:28 Diperbarui: 1 Juli 2024   21:41 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dibuat di Canva / Umiyamuh

Tidak ada satupun yang tidak sibuk hari itu di Mansion Landgrass. Bahkan seekor bebek sibuk berhias ketika sang Ratu akan datang berkunjung. Semua lantai harus mengilat dindin bersih dan semua tanaman sudah dipotong rapi. Bell hampir tidak dapat tidur dua hari ini. Mansion tidak mempunyai cukup pekerja untuk menyabut keluarga kerajaan. Tapi entah mengapa sang Ratu yang merupakan ibu tiri dari Tuan Duke itu datang berkunjung.

"Kau terlihat pucat sekali, Bell," tegur Nyonya Highes. "Apa kau juga sama seperti pekerja lain yang tidak dapat tidur memikirkan kedatangan Yang Mulia Ratu?"

"Tentu saja, Nyonya. Ini adalah pengalaman pertama saya bertemu dengan keluarga kerajaan secara langsung. Saya sungguh tidak sabar."

Nyonya Highes menghela napas kasar. "Tidak usah kau pikirkan, Bell. Kau bisa istirahat. Hanya beberapa orang saja yang diijinkan menyambut Yang Mulia Ratu,  kau bukan salah satunya."

Raut wajah Bell berubah. Terpancar kekecewaan di matanya. "Begitukah? Saya salah sangka rupanya."

Malam hari yang dingin di lewati Bell dengan kesedihan.  Gadis itu memberanikan diri menaiki menara mansion. Angin bertiup cukup kencang hingga menerbangkan rambut panjangnya yang terurai.

"Aku baru melihatmu sejak beberapa hari terakhir kita bertemu."

Suara itu mengejutkan Bell yang baru saja sampai di tempat itu. Leon sudah ada di sana sejak beberapa menit matahari mulai bersembunyi.

"Sedang apa kau di sini?"

Leon yang tadinya duduk di lantai itu kemudian berdiri. "Aku sedang menantikan bulan," ucapnya asal-asalan.

Bell tertawa. "Kau akan membeku sebelum bulan muncul."

"Kau sendiri? Jika Nyonya Highes tahu, kau akan kena hukum datang ke tempat ini."

"Aku tidak akan kena hukum jika seseorang tidak banyak bicara."

Leon mendekat. "Apa kau baik-baik saja?"

"Tidak," jawab Bell singkat. "Aku sedih sekali, aku tidak dapat ikut bersama dengan yang lainnya untuk menyambut ratu besok hari."

"Itu hanya acara yang tidak penting. Kau tidak perlu memikirkan hal semacam itu," ucap Leon menenangkan. "Apa kau mau pergi bersamaku? Ada danau cantik di balik bukit. Percayalah itu lebih baik dari pada menyambut perempuan itu---"

"Hei!" Bell seketika menutup mulut Leon dengan tangannya. "Kalau ada yang melaporkan,  kau akan diusir." Leon terdiam karena tangan dingin gadis itu kini menempel di bibirnya.

"Maaf," Bell tersipu. "Tunggu, sudah berapa lama kau berada di sini?"

Leon mengedikkan bahunya. "Entahlah.  Aku datang, hari masih terang."

"Kau pasti kedinginan. Turunlah bersamaku, aku akan membuatkan minuman  hangat untukmu." Tanpa persetujuan Leon, Bell langsung bebalik menuruni anak tangga. Dan lelaki itu mengekor mengikuti Bell dengan senang hati. Namun belum juga lantai dasar, Leon menarik tangan Bell. "Tunggu! Aku tidak bisa pergi ke sana denganmu," ucapnya ragu.

"Tak apa, dapur selalu sepi di malam hari. Di sana juga hangat karena perapian selalu menyala."

Ucapan Bell benar. Tidak ada seorangpun yang berada di dapur. Semua ora kelelahan bekerja seharian.

"Duduklah. Aku akan membuatkan sup untukmu."

Leon mengikuti saja arahan Bell. Tidak butuh waktu yang lama, gadis itu sudah selesai dengan supnya. Setelah berterima kasih, Leon langsung menyantap sup itu. Hening, kedunya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tidak butuh waktu lama, mangkuk Leon sudah bersih, sup sudah masuk ke lambung lelaki yang duduk di depan Bell itu.

"Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" Leon ragu-ragu. "Sebenarnya tertulis jelas di wajahmu, jika sedang ada sesuatu yang kau pikirkan."

"Sungguh?" Bell tak percaya.

"Apa kau merindukan rumahmu?" Leon menebak-nebak. "Tak apa, bukannya ini  pertama kalinya kau pergi jauh---"

"Tidak. Bukan itu,"Bell terdiam sejenak."Ini terlalu biasa saja. Bukannya seharusnya ayah mencari kami? Aneh bukan, dua putrinya hilang tapi seorang Ayah diam saja?"

"Tidak. Aku pernah mengalaminya---"

"Aku tidak tahu apa yang ayahku pikirkan. Tapi ini tidak seperti dugaan. Sudah hampir dua bulan, tapi sepertinya ayah tidak ada niatan mencari kami ke ibu kota,"

"Apa kau akan pulang, jika ayahmu datang?"

Bell menatap Leon. Ada kebingungan di pelupuk matanya.

"Violta adalah tempat aku lahir dan tumbuh. Tapi tempat itu juga yang mengurungku."

Tanpa seizin Bell,  Leon memeluk gadis itu. Di tengah malam yang mulai semakin larut, udara yang kian mendingan dan mansion yang terlalu sepi.

"Jika kau ingin pulang, katakan saja. Aku akan mengantarmu dan memastikan kau baik-baik saja."

Bell menangis dalam dekapan Leon. Tak bersuara tapi Leon tahu jika gadis itu memang bersedih untuk banyak hal. 

Bersambung....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun