Apa kau percaya takdir?
Hanya takdir yang baik yang selalu ingin dipercaya oleh Bell. Sebuah pemikiran baik untuk hal-hal baik yang dia harap akan terjadi dalam kehidupannya. Hari-harinya tinggal di Mansion milik keluarga Landgrass dinikmati olehnya dengan suka cita. Meskipun kehidupan barunya sekarang sebagai pelayan tapi ini bukan hal baru baginya. Dia putri bangsawan kelas bawah yang kaya raya tapi ayahnya tidak membiarkan banyak pelayan di rumah mereka. Jadi Bell sudah terbiasa melakukan banyak pekerjaan rumahan.
"Apa kau tidak lelah, Bell?"
Bell menoleh. "Semua orang di Mansion bekerja keras. Saya juga akan bekerja keras, Nyonya."
"Saya senang karena kau tinggal bersama kami di sini. Pelayan di sini sangat kurang, tidak banyak yang mau bekerja bersama kami, mereka bilang tempat ini terlalu terpencil dan kumuh," ucap Nyonya Highes.
"Mereka keterlaluan sekali. Bagaimana jika mereka melihat kediaman kami di Violta. Aku bahkan baru pertama kali melihat rumah semegah dan sebesar Mansion ini," ucap Bell sambil menunjukan betapa menakjubkan Mansion itu di matanya. Nyonya Highes tersenyum tipis. Tidak ada yang tidak menarik dari Bell, begitulah yang dipikirkan oleh wanita setengah baya itu.
"Bersiaplah, Bell. Tuan Besar akan datang besok. Kita semua harus berkemas hingga malam hari." Nyonya Highes lalu pergi meninggalkan Bell dan pekerjaannya.Â
Sesekali Bell mengusap peluh di keningnya. Hari ini cukup panas. Sudah sebulan sejak dia meninggalkan pulau. Entah sang Ayah mencarinya atau tidak. Atau entah pekerjaan apa yang sudah didapat oleh Rossie. Banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya. "Fokuslah Bell, masih banyak perkakas yang belum kau sentuh," ucapnya pada diri sendiri.Â
Hari penting itu tiba. Sang pemilik baru akan datang. Semua orang bersiap, namun hingga tengah hari hanya seorang utusan saja yang datang. Tuan Besar sedang menghadap raja. Tidak ada yang dapat menolak titah raja. Tentu saja Tuan Besar pergi.
"Apa Anda pernah bertemu dengan Tuan, Nyonya Highes?"
"Mana mungkin aku yang hanya pelayan ini bertemu dengan seorang pangeran, Bell?"
Bell mengerutkan dahi. "Apa maksudmu, Nyonya?"
"Apa kau tidak tahu? Astaga, kau harus sering pasang mata dan telinga, Bell."
"Para pelayan memang sering membicarakan tapi saya memang tidak begitu memerhatikan. Jadi bagaimana?" Bell begitu penasaran.Â
"Tuan Duke Landgrass yang baru adalah anak pertama Yang Mulia Ratu pertama yang sudah wafat. Jadi beliau adalah pengeran pertama. Tapi sayangnya, beliau kabur dari istana 10 tahun lalu, sehingga yang jadi Putra Mahkota dan akan mewarisi takhta adalah pangeran kedua, "jelas Nyonya Highes. Bell hanya mengangguk seolah mengerti. "Aku sendiri tidak mengerti kenapa pangeran pertama kabur dan sekarang kembali," lanjutnya.
"Kenapa beliau malah jadi Duke?"
"Keluarga Landgrass adalah keluarga dari Yang Mulia Ratu terdahulu, jadi keluarga ini memang sudah seharusnya milik pangeran pertama, tapi seharusnya dia lebih memilih jadi Putra Mahkota. Kabarnya dia orang yang kasar, aku sedikit takut."
"Kita akan tahu nanti, Nyonya."
Hari-hari yang tenang dan damai di Mansion berakhir. Rombongan Tuan Besar atau Duke telah tiba. Semua orang kecuali Bell menyambut Tuan baru mereka. Orang yang berbeda dari yang selama ini dibicarakan. Tuan Duke adalah orang yang pendiam dan dingin begitulah penilaian orang-orang untuk sementara ini.
"Sayang sekali hari ini kau sakit, Bell," ucap Linda teman sekamar Bell.
"Aku tidak meminta tubuhku sakit," ucap Bell lemah.
"Tuan Duke sangat," ucapan Linda terhenti. "Sangat tampan." Linda terlihat berbinar-binar.
"Apa kau tidak berlebihan, Â Linda?"
Bersambung.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H