Matahari yang cerah, burung berkicau dan aroma lezat silih berganti singgah di hidung. Keadaan ini sangat berbeda ketika Bell dan Rossie berada di Violta, Pulau terpencil tempat mereka lahir dan dibesarkan.
"Selamat pagi, Nona-nona. Leon bilang, kalian akan butuh pakaian, cobalah beberapa pakaian saya ketika masih gadis, saya harap kalian menyukainya."
Sebuah gaun sedikit lusuh di makan waktu, sederhana tapi terlihat nyaman. Tertata rapi dalam sebuah tumpukan, Aster meletaknnya di atas tempat tidur.Â
"Terima kasih, saya akan mencobanya." Bell meraih salah satu gaun itu. Ukurannya sangat pas. "Kau juga harus mencobanya, Rossie,"pinta Bell.
"Aku percaya dengan penilaianmu, dan ukuran kita sama persis untuk apa aku mencobanya. Aku akan langsung memakainya setelah membersihkan diri."
"Maafkan ketidaksopanan saudari saya, Aster," ucap Bell.
Aster hanya tersenyum. "Tidak masalah,"ucapnya kemudian. "Apa kau mau ikut denganku? Kau dan saudarimu akan mendapatkan pekerjaan yang layak di sana."Â
Bell menatap Rossie yang tengah membereskan pakaiannya. "Aku akan ikut, tapi Rosssie?" Gadis itu terdiam sejenak. "Apa kau akan ikut?"
"Aku tidak ingin jadi pelayan," ucap Rossie sok tahu.
Bell menghela napas panjang. "Ayolah, Ross. Kita harus bekerja sama. Bukannya aku sampai di sini karena kau membawaku? Apa salahnya jika menjadi seorang pelayan? Mereka dapat upah."
"Jangan paksa aku, Bell. Aku akan ke pusat kota dan mendapatkan pekerjaan. Tidak sebagai pelayan seorang bangsawan."
"Pekerjaan apa yang kau maksud? Apa kau sudah merencanakan ini sebelum kau pergi?"
Rossie mengangguk. "Tentu saja. Aku sudah menunggu hari ini sejak beberapa tahun terakhir. Aku mempunyai teman yang bekerja disebuah galeri. Aku berjanji akan menemuinya jika aku datang ke Ibu Kota."
Bell mengerutkan dahi tak percaya kalau ada hal seperti itu yang Rossie sembunyikan darinya.
Butuh waktu kurang lebih setengah jam berjalan kaki menuju sebuah mansion di pinggir kota. Tempat tinggal yang megah dengan hutan keluarga mengelilinginya.
"Bukankah rumah ini sangat besar? Aku bahkan canggung jika harus menyebut ini rumah." Bell terus mengagumi bangunan di depan matanya itu.Â
"Ini adalah mansion keluarga Landgrass. Untuk saat ini mansion hanya ada Viscount Moel. Tapi satu bulan lagi Duke yang baru akan datang dan segera menempati mansion jadi membutuhkan banyak pekerja," jelas Aster.
Segera setelah sampai, Bell dan Aster bertemu dengan kepala pelayan. Bell langsung diterima di tempat itu. Sedangkan Rossie, gadis itu masih berputar-putar mencari galeri yang tertulis di sebuah surat. Tengah hari yang terik membuatnya merasa sedikit pusing.Â
"Maaf, Nona. Apa Anda butuh bantuan. Saya melihat Anda lemas dan pucat sekali." Seorang penjual roti pinggir jalan menghampiri Rossie.
"Terima kasih, Nyonya, atas bantuan Anda. Saya hanya lelah. Saya tengah mencari sebuah galeri."
"Bolehkah saya tahu apa nama galerinya?"
Rossie kebingungan. Itulah masalahnya, dia tidak tahu akal ada banyak galeri di Ibu kota. Dalam surat, temannya tidak memberi tahu nama galerinya. Hanya ada satu petunjuk yaitu logo galeri itu dan dari beberapa orang yang Rossie jumpai tidak ada yang tahu logo itu.
"Saya tidak tahu nama galerinya. Tapi---" Rossie menunjukan surat di tangannya. "Apa Anda tahu ini galeri mana?"
"Tentu saja," jawab sang Nyonya. "Ini adalah Galeri LandGrass, Anda hanya perlu berjalan kedepan lurus Anda akan menemukan gedung dengan logo yang sama di pintunya."
"Sungguh? Terima kasih banyak,"
Bersambung....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H