Amah mendekati Amar. "Nikahkanlah Zalimar. Aku sudah muak melihat dia di rumah ini."
"Kenapa?" Kakek Amar kebingungan.Â
"Apanya yang kenapa? Usianya sudah semakin tua, pendidikan sudah selesai, apa lagi yang kita tunggu?" ucap ah dengan meluap-luap.
Setelah kejadian itu, Zalimar jadi jarang keluar kamarnya.Â
"Setengah dari rumah ini adalah hak Zalimar, bukan? Aku benci fakta itu, tapi sekarang Nenek dengan terang-terangan begitu ingin mengusir Zalimar," ucap Bibi pertama di depan kamar Zalimar.Â
"Jangan kencang-kencang nanti Zalimar dengar."
Zalimar sudah mendengar semuanya. Kedua bibinya itu sebenarnya sengaja dan Zalimar juga tahu itu. Tidak ada satu anggota keluarga pun yang berpihak kepadanya, bahkan kakeknya. Kata orang hanya Kakek keluarga Zalimar, tapi bukankah para Bibi dan Paman juga seharusnya saudara meskipun mereka tidak dari Ibu yang sama dengan ibunya Zalimar. Tidak, di rumah itu bahkan tidak ada satupun yang berada di pihak Zalimar. Kalau bukan karena surat wasiat yang dibuat ibunya, mungkin Zalimar sudah sejak lama meninggalkan tempat itu.
"Kamu mau ke mana, Za?"
Zalimar menoleh. Ternyata Dzul dengan sapu di tangannya. Sepertinya ini jadwal dia dan keluarganya untuk membersihkan halaman belakang.Â
"Aku akan pergi ke rumah Ambuku." Ambu adalah sebutan Zalimar kepada Bibi dari ayahnya. Rumahnya cukup jauh di luar kota.
"Apa kau akan kembali?" Wajah Dzul terlihat berbinar mendengar Zalimar akan pergi. "Lebih baik jangan kembali karena bisa saja setelah kau kembali, kamar ini sudah jadi kandang ular-ularku."