"Ya ampun, Za! Kamu mencuci beras sampai jernih seperti itu?" teriak Amah.
Zalimar menoleh. Suara bibinya itu hampir memecahkan gendang telinganya. "Loh, jadi nggak boleh sampai jernih?"Â
"Lebih baik jernih, Za. Biar lebih bersih," ucap Yanti.
"Pantas saja kamu nggak nikah-nikah, Za. Hal kaya gini aja kamu nggak tau. Mencuci beras itu nggak perlu sampai airnya jernih begitu. Biar masih tersisa nutrisi dalam kulit ari si beras," ucap Amah menasihati.
"Terima kasih, Amah sudah memberi tahu, Za." Zalimar kemudian meninggalkan Amah dan Yanti untuk segera menanak nasi. Ayah adalah istri dari Kakek Zalimar sedangkan Yanti adalah anak bungsunya. Meskipun Amah adalah istri dari kakeknya Zalimar, tapi gadis itu bukan cucunya. Zalimar adalah cucu satu-satunya dari anak satu-satunya Kakek Amar dari istri pertamanya.Â
Mereka tinggal di rumah yang sangat besar. Ada 30 orang yang tinggal di sana dan Zalimar adalah salah satunya.Â
"Menikahlah kau, Zalimar. Jangan jadi beban keluarga ini terus. Kau tau, 'kan jika bibimu akan segera pulang," ucap Amah. Semua orang yang tengah menyiapkan makanan terdiam dan menatap Zalimar tajam. Tapi gadis itu hanya tersenyum.Â
"Aku akan menikah jika memang sudah waktunya, Amah. Lagi pula aku tidak keberatan jika harus berbagi kamar dengan bibi."
Amah membanting sendok.
"Ada apa ini?" tanya Kakek Amar. Semua terdiam tidak ada yang berani berucap.Â