"Kau sudah tidur, Nath?"
"Belum!"
Artur kembali duduk menatap dua bola api. Kakek tua mendengkur keras seperti suara napas monster. Terlelap.
"Apa yang akan aku katakan jika terjadi sesuatu yang buruk padamu hari ini. Mungkin Grand Duke akan membunuhku."
Nath bangun. Matanya yang sempat mencoba terpejam, sepenuhnya terbuka. Tidak mengantuk sama sekali. Dia taruh dagunya di atas lutut.Â
"Aku akan baik-baik saja. Begitulah yang ada dalam pikiran Ayah. Bahkan jika Anda tidak menemukan saya hari ini."
"Terima kasih karena kau masih membawa jimat itu. Bahkan setelah bertahun-tahun."
Nath tersipu. Dia tidak berniat terus membawa benda itu dalam kantung atau sakunya. Hanya saja, dia sudah terbiasa dengan benda itu. Tidak membawanya seakan ada yang kurang dalam hidupnya.
"Apa batu rubi itu adalah batu yang Tuan Putri berikan padamu? Kau benar-benar menjaganya dengan baik sampai menanamnya di dalam belati itu." Artur menggosokkan kedua telapak tangannya lalu mendekatkannya ke bola api mencari kehangatan. Nath masih terdiam. Sejak sore tadi dia memang begitu.Â
"Apa kau baik-baik saja?" Artur mendekat dan menyentuh dahi Nath. Tidak panas. Gadis itu tidak demam.
"Aku merasakan keanehan setelah membaca mantra itu. Mataku terasa panas dan sakit. Bagaimana jika mata ini berubah jadi seperti semula?"