Mohon tunggu...
Umiyamuh
Umiyamuh Mohon Tunggu... Novelis - Seorang Penulis

Bukan orang penting, hanya seseorang yang suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kedasih

29 November 2023   22:01 Diperbarui: 30 November 2023   18:45 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam yang indah untuk menikmati sinar bulan. Angin lembut menerpa wajah, aroma daun-daun mengisi rongga hidung. Tidak banyak yang tahu jika saat malam mulai menjelang adalah waktu yang tepat untuk melakukan perjalanan. Bukan bagi orang lain, melainkan bagi seseorang. Dia adalah Melodi. Perempuan muda berparas cantik berkulit putih bak porselen. Tidak ada mata yang tidak terpesona ketika perempuan itu tersenyum. Seorang wanita penghibur yang tidak malu jika harus merayu lelaki yang bahkan tidak pernah dia kenal. 

"Apa yang kau lakukan," teriak seorang dari balik pintu kamar mandi. Tapi Melodi hanya menoleh ke arah sumber suara tanpa menjawab sepatah katapun. Dia baru saja pulang sebelum matahari benar-benar muncul di Timur.

"Apa kau sudah bosan hidup, heh?" teriak orang itu lagi. "Aku sudah bosan mendengar omongan tetangga.  Bagaimana bisa ada seorang wanita malam tinggal di rumah ini," teriaknya sambil memukul-mukul pintu. 

"Berisik!" Hanya satu kata. Melodi berlalu meninggalkan seorang perempuan muda yang melotot ke arahnya itu. "Apa?" tanya Melodi tak mau kalah. "Kau pikir baju yang kau pakai,  makanan yang kau makan itu dari mana?" tunjuk Melodi pada perempuan yang ternyata adiknya itu. 

Baca juga: Hor Huk

Melihat Melodi berlalu begitu saja sang Adik geram. "Kalau aku sudah punya uang aku tidak akan sudi tinggal sama kamu!" teriaknya.

"Oh! Aku senang mendengarnya. Kalau perlu jangan nanti. Sekarang saja." Melodi menutup pintu kamarnya dengan kencang. Membuat suara gaduh seperti biasanya. Kepalanya begitu pening. Dia tidak tahu seberapa banyak minuman beralkohol yang diminumnya. Ada berapa tangan yang menjamah tubuhnya atau sebanyak apa mata yang menatap menginginkan dirinya. Adiknya tidak akan pernah tahu, jika ada rasa sakit setiap kali dia harus pulang pagi-pagi buta. Tubunya seakan hampir patah satu persatu setiap kali dia akan melangkah pulang. Adiknya tidak akan pernah tahu, sejijik apa dirinya ketika menatap bayangannya sendiri di dalam cermin. Untuk apa? Melodi hanya terdiam di balik pintu. Tidak ada tenaga untuknya marah. Sudah terlalu dalam untuknya tenggelam dalam kubangan lumpur yang ibunya buat. Tapi sayangnya ibunya pergi tanpa pesan. Meninggalkan seorang anak yang harus hidup. Melodi menangis. Lagi-lagi hanya itu yang dapat dilakukannya. 

"Andai kau tau." Sebuah kalimat yang sesungguhnya dia tujukan untuk Adiknya, 'Nurma'. 

Baca juga: Puisi | Punya Waktu

Selama seminggu Melodi dan Nurma tidak bertegur sapa. Mereka jarang bertemu meskipun tinggal di rumah yang sama. Nurma seorang siswi SMA, berbeda dengan Melodi yang cantik langsing, Nurma kebalikannya.  Dia benci menjadi cantik karena tidak mau seperti Melodi. Tidak seperti biasa, belum lewat tengah malam, Melodi pulang. Seseorang mengantarkan hingga depan pintu lalu pergi.

"Kalau kau masih ingin hidup, bukalah pintunya, Nur!" ucap Melodi dengan suara parau dan ketukan tangan. Lirih. Nurma hanya diam. Pura-pura menonton televisi. Melodi terus mengetuk pintu tapi Nurma enggan membukakannya.

Nurma kesal lalu mematikan televisinya. "Bukalah pintu sendiri. Bukanya kau juga punya kuncinya!" teriaknya.

"Tidak. Aku sudah membuangnya. Apa kau mau aku tidur di depan rumah, Nur?"

Nurma mendengus kesal. "Merepotkan!" Meskipun kesal Nurma tetap membuka pintu, sekalipun dia langsung pergi tanpa melihat rupa Melodi yang urakan dengan pakaian yang kotor. Nurma langsung memasuki kamarnya. Dengan langkah terhuyung,  Melodi mengikuti Nurma. Tangannya mengetuk pintu kamar Nurma. "Bukalah pintunya, Nur. Apa kau tidak tahu kalau pintu itu juga berasal dari kerja kotor?"

Dari balik pintu Nurma melotot.  Di ambilnya bantal untuk menutupi telinganya.

Melodi tertawa.  Tubuhnya lunglai bersandar pada pintu kamar Nurma. "Kau bukan adikku. Aku bahkan tidak tahu siapa ibumu. Ibuku membawa ibumu saat akan melahirkan lalu doa pergi keesokan harinya. Lucu sekali, bukan? Untuk apa aku harus bekerja keras seperti ini? Dihina dan direndahkan demi membesarkan seorang anak yang aku tidak tahu asal usulnya. Kau bukan adikku, Nur. Itu alasan aku tidak pernah kesal meskipun kau tidak memanggilku 'Kakak'."

Meskipun samar tapi Nurma jelas mendengar apa yang Melodi katakan. Dia hanya menutup mulutnya. Entah kebenaran atau hanya Melodi yang tengah mabuk dan meracau, tapi dia hanya bisa menangis. 

Selesai 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun