Nurma mendengus kesal. "Merepotkan!" Meskipun kesal Nurma tetap membuka pintu, sekalipun dia langsung pergi tanpa melihat rupa Melodi yang urakan dengan pakaian yang kotor. Nurma langsung memasuki kamarnya. Dengan langkah terhuyung, Melodi mengikuti Nurma. Tangannya mengetuk pintu kamar Nurma. "Bukalah pintunya, Nur. Apa kau tidak tahu kalau pintu itu juga berasal dari kerja kotor?"
Dari balik pintu Nurma melotot. Di ambilnya bantal untuk menutupi telinganya.
Melodi tertawa. Tubuhnya lunglai bersandar pada pintu kamar Nurma. "Kau bukan adikku. Aku bahkan tidak tahu siapa ibumu. Ibuku membawa ibumu saat akan melahirkan lalu doa pergi keesokan harinya. Lucu sekali, bukan? Untuk apa aku harus bekerja keras seperti ini? Dihina dan direndahkan demi membesarkan seorang anak yang aku tidak tahu asal usulnya. Kau bukan adikku, Nur. Itu alasan aku tidak pernah kesal meskipun kau tidak memanggilku 'Kakak'."
Meskipun samar tapi Nurma jelas mendengar apa yang Melodi katakan. Dia hanya menutup mulutnya. Entah kebenaran atau hanya Melodi yang tengah mabuk dan meracau, tapi dia hanya bisa menangis.Â
SelesaiÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H