Sinaran mentari pagi baru saja menyapa. Hangatnya memeluk tiap jiwa yang disentuhnya. Benang surya menyusup tiap celah daun-daun. Membangunkan kenangan yang tidak mampu terulang.
Hari itu adalah hari di mana Pariem terlihat sibuk sepanjang hari. Besok adalah hari pasaran. Pariem bukanlah pedagang di pasar. Tapi dia adalah seorang yang selalu menjual hasil kebunnya ke pasar.
"Dapat berapa banyak daun singkongmu, Par?" tanya salah seorang lelaki tua yang lewat kebun Pariem.
"Tidak banyak, Pak Lek." Pariem hanya menjawab singkat. Waktunya tidak banyak, matahari sudah semakin tinggi dia tidak mau daun singkongnya layu. Terlebih dua juga harus bergegas memanen mentimun dan sayuran lain di kebunnya yang lain juga.
"Kamu itu seperti nggak pernah istirahat," tegur Minah.
"Bukan begitu, Mbak. Anakku banyak kalau aku nggak begini mau makan apa mereka?"
"Suamimu memangnya nggak sanggup memberi makan?"
Pariem yang tengah merapikan mentimun ke dalam keranjang itu mendadak berhenti. "Bukannya dia nggak sanggup, aku cuma mau membantu dia."
Minah hanya diam. Kakak Pariem ini merasa kasihan melihat sang adik yang seperti tidak pernah di rumah. Berangkat sebelum subuh dan pulang sudah hampir malam, semua pekerjaan dia kerjakan sendiri. Â
Entah kapan dia bertemu dengan kelima anaknya bermain atau sekadar berbincang. Kerja keras Pariem dan suaminya memang tidak sia-sia.Â