Tempo hari sebidang tanah baru saja dibeli. Bertambahlah lahan yang digarapnya. Pariem selalu bilang jika sawah dan ladang yang dia dan suaminya usahakan adalah harta yang akan di wariskan ke pada anak-anak mereka, agar ke depanya tidak ada yang kesulitan pangan.
Tapi itu cerita 30 tahun lalu, saat Pariem dan suaminya masih gagah perkasa mengelola harta mereka. Setelah suaminya meninggal, Pariem membagikan seluruh tanah miliknya itu kepada kelima anaknya. Ada yang puas ada juga yang tidak puas.Â
"Kamu sudah sarapan, Par?" tanya Minah. Wanita tua itu kini hanya samar-samar melihat. Tapi semangatnya tetap kuat tidak berubah usianya kini 84 tahun dia hanya 4 tahun lebih tua dari Pariem.Â
Tapi keadaan Pariem tidak juga lebih baik. Justru dia terlihat lebih tua. Tubuhnya bengkok hingga saat berjalan Pariem berpegangn ke lututna. Pendengarannya sudah buruk begitu juga dengan penglihatannya.
Jika Minah tidak datang berkunjung, Â wanita tua itu hanya duduk di teras rumah menunggu sinar matahari. Anak-anaknya telah mempunyai cucu dan cicit. Dua diantaranya sudah tiada, sedangkan mereka yang masih ada jarang mengunjunginya. Alasannya tentu saja sibuk.
"Mungkin seharusnya dulu aku lebih sering bermain dengan anak-anakku, ya, Mbak?"
Minah tersenyum tipis. "Memangnya kenapa? "
"Entahlah, sepertinya aku seperti lupa bagaimana mereka tumbuh dan dewasa."
"Orang-orang seumuran kita juga sudah tidak banyak, Par. Rasanya jadi tua itu begitu sepi. Kalau aku tidak datang ke sini rasanya aku begitu kesepian. "
Pariem mengangguk, dia setuju dengan ucapan kakaknya itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H