jenderal hanya terdiam ketika putra tertua Grand Duke menodongkan benda tajam itu. Mata merah milik Noah terlihat makin menyeramkan.
Ujung pedang telah menyentuh leher Hoston. Sang"Mohon ampunlah, Jenderal! Jika kau masih sayang nyawamu!" Sambil menyilangkan kedua tangannya Lucas menatap tajam sang Jenderal.Â
"Saya tidak merasa bersalah untuk hal ini, Tuan! Jadi saya tidak akan memohon maaf! Silakan saja Anda membunuh saya. Karena harapan pasukan Anda menang adalah bala bantuan saya!" ucap Hoston. Angkuh.
"Aku tidak akan kalah meski kau tidak ada!" tugas Noah.
"Tapi Anda tidak akan menang tanpa adanya saya! Saya memang tidak peduli dengan Nona bangsawan yang masuk dalam pasukan saya---tapi saya peduli jika pasukan saya dalam masalah. Tanpa sepengetahuan saya Nona itu menghilang. Sejak awal dia sudah bukan tanggungjawab saya. Karena seorang wanita bangsawan hanya akan mengacaukan seperti ini."
"Dia bukan pengacau. Asal kau tahu!"
"Tapi dia sudah mengacau bahkan belum hari pertama di medan perang!"
"Jaga ucapanmu Jenderal!" Lucas menarik pedangnya hendak menghunuskan ke dada sang Jenderal.Â
"Kau hanya anak ayam tanpa induk---jika tanpa Noah!!" ucap Hoston dengan wajah menyebalkan. Hampir saja Lucas menghajar Jenderal sombong itu. Tangannya telah mengepal, aliran mana elemennya secara cepat memenuhi ujung-ujung jarinya---hingga akhirnya dihentikan Noah.Â
"Sudahlah! Percuma saja! Sekarang kita kembali saja ke tenda." Noah menurunkan pedangnya.
Tenda-tenda besar para kesatria dan prajurit berdiri tak berjarak satu sama lain. Ini adalah kamp ketiga mereka dalam satu tahun terakhir. Jika pasukan musuh mengetahui tempat ini dan menyerang maka mereka akan membuat kamp lain yang lebih aman.
"Hei! Di mana Duke tidak bertanggung-jawab itu!" Hoston menepuk-nepuk tangannya yang berlumuran lumpur.Â
"Duke Vandermork sudah pergi sejak lima belas menit lalu setelah tahu tunangannya belum sampai, Tuan!" jawab salah seorang kesatria.
"Siapapun Nona itu. Saya semakin tidak menyukainya."
Matahari telah sempurna tenggelam. Ratusan barisan pohon yang menemani pencarian Artur kini hilang. Hanya ada kerlipan kunang-kunang yang kesana kemari mencari pasangannya. Artur melompat turun dari kudanya. Suara hentakan langkan kuda dan kakinya yang menyentuh batuan kecil memunculkan suara yang entah mengapa terdengar mengerikan di antara suara angin malam yang dingin berembus di atara dua bukit hutan kematian.Â
Berteriak bukanlah solusi, tapi bagaimana dia tahu dimana orang yang dia cari jika tidak memanggil namanya. Artur memejamkan matanya. Dengan kasar dia memukul pipinya. Sesuatu baru saja diingatnya. Bagaimana dia bisa lupa kalau dia bisa menemukan gadis itu di manapun dia berada lewat jimat yang pernah di berikan sewaktu kecil. Jimat itu tidak pernah lepas dari Nath dan selalu terhubung dengan mana elemen angin miliknya.Â
Artur kembali menaiki kudanya. Sepuluh menit hingga langkah kudanya terhenti di sebuah tebing dengan tumpukan batuan besar di sisinya. Bukan batuan biasa, ada cakar di beberapa sisi. Baru saja Artur menjentikkan jari. Sebuah cahaya putih keluar dari ujung telunjuk. Menelisik tiap bongkahan batu, hingga langkahnya terhenti---noda darah yang belum lama mengering. Tali penghubung antra dia dan jimat itu terputus di tumpukan batu itu.Â
Artur menarik kudanya mundur dalam hitungan ke tiga sebuah cahaya putih menghempas batu itu dan menghancurkannya.Â
Duaar...Â
Sebuah lubang besar seukuran lebih dari dua meter yang ternyata gua terpampang di depan mata. Sekejap Artur terdiam.Â
Rroooaar...Â
Itu suara monster gunung dari hutan kematian. Artur telah membangunkan monster-monster itu. Gemretak tanah yang dipijak menjadi peringatan untuknya segera meninggalkan tempat itu. Bergegas Artur memasuki gua. Kudanya bertengking kala memasuki bagian yang lebih gelap.Â
Artur kembali menjentikkan jari membuat cahaya yang muncul makin besar. Pandangannya makin luas. Di lihat dua helai kain penuh darah di atas batuan dan beberapa helai bulu kuda di sekitarnya. Sekali lagi kudanya bertengking.
"Diamlah Sket!"Â
Artur mengusap wajah kudanya yang terlihat tidak nyaman dengan tempat pengap itu.Â
Roaarr...Â
Suara monster itu terdengar lagi.
"Kita harus bergegas!"[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H