Gaun yang cantik. Kalung berkilau. Rambut tertata rapi, halus dan lembut. Ruangan yang harum dan wajah yang memesona. Hari yang menyenangkan untuk memulai hal yang baru. Julia menatap bergairah langit biru di ujung pepohonan yang membatasi istana putri dan istana utama. Membiru dan cantik.
"Kereta Anda sudah siap, Yang Mulia," ucap salah seorang lelaki muda berpakaian pelayan, dia adalah Ahn. Julia menganggukkan kepalanya, memberi kode jika ini adalah saatnya. Elle menatap Julia sumringah. "Saya tidak sabar untuk hari ini, Yang Mulia." Gadis itu betepuk tangan tanpa suara.Â
Julia mengedikan bahu. Tidak ada yang tahu hal baik atau hal buruk yang akan terjadi sedetik ke depan. Tapi dia selalu percaya, apapun itu mungkin akan menarik.
Elle, Ahn dan beberpa pengawal mengikuti langkah Julia. Sebelum akhir langkahnya dihentikan oleh salah seorang pemuda tampan. Pangeran.
"Kakak akan pergi ke mana?"
"Salam, Pangeran." Julia membungkukkan tubuhnya. Tidak ada yang aneh. Adik laki-laki itu belum lama dikenalnya, jadi apa yang membuat aneh jika saat ini dia juga harus memberi salam setiap kali wajah itu muncul di hadapannya.
"Apa Kakak harus seperti itu setiap kali bertemu denganku? Aku sangat canggung, Kak!"
"Bukankah etika dan sopan santun adalah pakaian bagi para bangsawan? Dan saya sedang berusaha memakainya."
Dimitri memajukan bibir mungilnya tanda tak suka. "Kakak belum menjawab pertanyaanku. Kakak mau ke mana?"
"Saya akan ke toko gaun. Bukankah upacara kedewasaan akan segera diselenggarakan?" jawab Julia.
"Iya! Tentu saja! Kakak harus jadi wanita tercantik di acara itu."
"Tidak! Terlalu mencolok membuat hati tidak nyaman."
"Tapi sekarang kau adalah Tuan Putri. Sebenarnya aku ingin membicarakan sesuatu denganmu. Tapi jika kau sibuk, bisakah kita berbicara petang nanti di istana timur?"
Julia tersenyum. Menyetujui janji temu itu. Selepas sang Pangeran pergi, perjalanan mereka masih tidak dapat dilanjutkan. Matahari yang semakin meninggi tak mau sejenak menunggunya berteduh. Lelaki yang paling Julia hindari. Berjalan tegap ke arahnya dengan tatapan tajam menusuk.
"Apa dia hendak membunuhku, Elle?" Julia memiringkan kepalanya mendekati telinga Elle; berbisik. Pelayannya itu hanya terdiam. Lelaki yang menyeramkan itu pasti akan dengar apapun jawaban yang digumamkannya untuk sang Putri.
"Salam Yang Mulia, Putri Rossettini."
Julia membalasanya dengan tersenyum dan mengangkat sedikit gaunnya.
"Maaf jika saya mengganggu perjalanan Anda. Tapi bisakah kita bertemu dalam waktu dekat?"
Julia memiringkan kepalanya. Sejenak seperti menatap Rez dan ingin memaki. Tapi ditahannya.
"Saya hanya ingin membicarakan perihal perkembangan bisnis di wilayah timur," terang Rez.
Pipi Julia memerah. Tanpa disengaja dia tersipu hanya dengan mendengar suara berat lelaki itu. Memalukan.Â
"Hai, Rez selamat pagi!" sapa Ambeer memecah keheningan. "Selamat pagi juga Putri," senyum cerah menghiasi rupa sang peran utama. Julia tersadar jika kehadirannya dalam kisah itu hanya untuk mati. Melihat dua orang itu begitu serasi. Tiba-tiba dadanya terasa menyempit dan sesak. Itu bukan perasaannya melainkan ini adalah hati milik Julia yang asli tengah merasakan sakit. Julia mencoba meyakinkan diri. Wajah Julia memucat.
"Anda baik-baik saja, Julia?" Ambeer menyentuh pipi Julia. Tangannya yang lembut, senyumannya yang indah itu dibinasakan oleh Julia dalam cerita. Mengingat itu jantung Julia berdegup kencang tubuhnya bergoncang.
"Apa Anda sakit?" tanya Ambeer lagi.
"Tidak Yang Mulia. Sepertinya saya terlalu lama berdiri di bawah terik matahari. Dan Tuan Crimson---" Julia menghentikan kalimatnya lalu membungkukan badannya.
"Baiklah saya mengerti. Secepatnya saya akan menghubungi Anda untuk janji temu itu. Saya juga permisi."Â
**||**
Bersandar pada kursi kayu di dalam perpustakaan, pikiran Julia bergerilya menjelajahi setengah bumi. Hidupnya yang mengerikan sebagai Yuri masih dapat digenggamnya dengan tetap hidup di atas kakinya sendiri. Tapi hidup sebagai Julia-dia hanya sebatas menggerakkan tubuh gadis itu beriringan dengan takdir menyedihkan sang Putri.
Sebuah buku dibukanya. Kalimat-kalimat itu tak pernah ada di kehidupannya, namun bibirnya begitu fasih mengucapkannya. Seakan semua sudah tertulis di alam bawah sadar. Sugguh dia memang Tuan Putri yang cerdas. Namun seketika dia jadi bodoh hanya seorang lelaki yang tidak pernah sekalipun mencintainya.
Jadwalnya hari ini batal. Janji yang sudah dibuat dengan beberapa perancang busana dari toko-toko paling terkenal di pusat kota itu gagal dilakukan. Tuan Putri yang malang, dia akan dihina saat pesta kedewasaan yang akan diadakan sebentar lagi.
Tidak mengapa. Dia tahu hal itu memang akan terjadi. Dan tidak semua hal dalam cerita aslinya dapat diubah. Dia juga tidak akan mati karena hinaan para bangsawan di hari itu. Setidaknya para bangsawan akan menemukan bahan gosip mereka untuk beberapa waktu tentang Tuan Putri yang tidak sopan melanggar janji atau Tuan Putri yang mempermalukan keluarga kerajaan karena ketidakmampuannya.
"Pangeran mengirimkan Anda surat, Yang Mulia." Elle menyodorkan sepucuk kertas abu-abu tua dengan goresan tangan Dimitri yang semakin indah berhiaskan stampel pangeran.
Adik yang kini begitu sayang kakaknya itu akan mengirim dokter untuknya. Sebuah alibi yang dapat meredam kesinisan terhadap sang Tuan Putri baru.
"Apa Anda setuju,?"
Julia mengangguk, "Aku tidak punya pilihan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H