Laki-laki tampan yang tidak menua itu menoleh. Tumpukan dokumen yang sedang dipelajari serta beberapa surat yang telah dibaca sama sekali tidak membuatnya terlihat letih. Alex memberi isyarat agar Nath duduk. Tangannya masih menggenggam pena di kanan dan kertas berwarna kecoklatan di kiri.Â
"Apa Ayah sudah makan?"
Alex yang biasa berwajah datar itu tersenyum. Pena dan kertas itu simpan. "Jangan khawatirkan Ayah. Kau saja yang harus banyak makan. Akhir-akhir ini kau terlihat kurus,"
"Saya tidak kurus. Hanya saja saya tidak suka jika gaun yang saya kenakan nanti terasa sesak."
"Putriku memang sudah besar sekarang ..., Lalu-apa yang ingin kau bicarakan?"
"Bolehkah saya pergi ke medan perang setelah bertunangan?" ucap Nath tanpa ragu. Suaranya yang halus dan lembut terdengar merdu. Sama sekali tidak cocok dengan kalimat yang terucap. Meminta izin berperang dengan nada pesta minum teh.
Mata biru Nath bertemu dengan mata merah Alex---keduanya terlihat serius. Terlihat jelas Alex mulai tidak suka dengan pembicaraan ini. Laki-laki itu menengguk teh yang sudah dingin di hadapannya. Ini tidak bagus. Medan perang bukan kastil yang hangat. Kapan saja bisa terbunuh. Begitu banyak mayat dan aroma darah di segala sudut. Bagaimana putri kecilnya itu dia kirim ke medan perang? Sepanjang hidupnya lebih banyak dihabiskan di dalam kastil. Mengenakan gaun dan pakaian baru setiap harinya.Â
"Tidak---"
"Apa saya harus duel dulu dengan Ayah? Agar Ayah percaya kalau saya sudah lebih kuat bahkan dari Ayah?"
Alex terdiam. Tidak disangka jika putrinya kini telah tumbuh jadi gadis keras kepala. Negosiasi ini tidak akan mudah. Alex menghela napas. Berat.
"Baiklah---tapi kau tidak boleh terluka. Satu lagi---"