Teng .. teng..Â
Seorang sipir memukulkan tongkatnya ke jeruji besi menimbulkan suara berisik. "Diamlah! Atau ku sumpal mulut kalian!" bentaknya.
Kedua kakak beradik itu menelan ludah. Sipir itu tinggi besar dengan kumis tebal hampir menutupi bibir atasnya-menyeramkan. Bahkan lebih menyeramkan dari penagih utang yang sering datang ke rumah mereka.
"Andai saja kita punya orang tua," keluh Dimitri, "apa sungguh kita tidak mempunyai Ayah atau Ibu, Kak?"
"Penagih utang yang selalu datang mencari kita sudah cukup membuktikan kalau kita pernah punya orang tua!" jawab Julia kesal.
Dua sipir menghampiri sel Julia dan Dimitri. Hari pengambilan keputusan hukuman untuk dua pencuri itu tiba. Kedua tangan mereka diikat rantai besi lalu dua sipir itu menyeret keduanya ke sebuah ruangan gelap. Seseorang telah menunggu mereka di sana. Aroma tembakau memenuhi ruangan sempit itu hingga membuat siapa saja sulit bernapas karena aroma itu.Â
"Dua pencuri tokoku sudah di sini rupanya." Suara bariton Tuan pemilik toko roti sangat Julia kenali. Orang yang sehari-hari memakinya sedang duduk di bawah lampu-satu-satunya cahaya di ruangan itu. Kedua sipir tidak melepaskan cengkramannya pada pundak Julia dan Dimitri.Â
"Sujudlah jika kalian mau aku ampuni," ucap Tuan pemilik toko roti. Dua sipir dengan kompak mendorong Julia dan Dimitri hingga lutut keduanya menyentuh lantai. Julia meringis kesakitan sedangkan Dimitri terdiam tanpa ekspresi. Keduanya menolak untuk bersujud ataupun meminta maaf. Roti itu adalah sampah yang akan dibuang esok hari oleh Julia, jika hukum di tempat itu adil dia tidak akan ada di tempat itu.
Tuan pemilik toko mendekati Julia. Aroma tembakau pekat sekali keluar dari embus napasnya. Di tariknya rambut pirang Julia. "Kau pasti akan laku mahal jika aku jual-"
Cuh!
Julia spontan meludahi kaki Tuan pemilik toko.Â