Julia membersihkan tangannya yang berdebu karena memilah buah persik. Menepuk-nepuk pada celemek cokelat yang melekat di tubuhnya. "Salam kenal Nona. Saya Julia," ucapnya sopan.
"Kau cantik! Bahkan tanpa riasan," ucap Dorotti. Kalimat itu sukses membuat wajah putih Julia memerah seperti kulit persik.
"Apa kau malu? Sungguh, kau cantik sekali Julia."
"Terima kasih, Nona! Anda lebih cantik." Pujian Julia juga berhasil membuat hati Dorotti berbunga.
Tanpa di jelaskan Julia memang lebih cantik. Yuri sendiri sangat kagum dengan kulit putih bersih Julia yang tak pernah tersentuh perawatan. Lebih sehat dari kulit Yuri yang setiap hari memakai masker dan serum. Matanya yang biru dan rambutnya yang pirang, serta tubunya yang proporsional. Julia sungguh tidak pantas hidup sebagai wanita miskin.
Jelang sore hari saat Julia telah bersiap untuk pergi ke tempat kerjanya yang lain;Dimitri datang. Lihatlah anak laki-laki yang kini sebagai adiknya. Kurus dengan rambut pirang berantakan. Entah kapan kali terakhir dirinya mandi. Kusam dengan pakaian yang sudah dikenakan sejak dua hari lalu. Tidak ada mantel hangat yang membalutnya---suhu dingin di musim gugur masih belum membekukan tulangnya.
Dimitri berdiri di samping pintu belakang dapur toko roti. Wajahnya pucat. Dua kemungkinan yang terjadi, dia belum makan atau sudah terlalu lama dia berdiri menunggu Julia di tengah suhu udara yang semakin rendah.
"Apa yang kau lakukan di tempat ini?" tanya Julia.
"Tidakkah kau membawa sepotong roti untukku? Aku lapar. Toko roti ini terkenal dengan rotinya yang lezat dan---"
"Tidak! Pulanglah," tolak Julia.
"Uangku, diambil oleh preman. Bagaimana aku akan makan hari ini," ucap anak itu-menyedihkan.