"Ibu kan sudah bilang kamu berhenti bersekolah! Usia mu sudah berapa, heh? Bekerja saja dengan benar!" ucap Ibu. Seorang wanita berusia 40 tahunan pada anaknya yang baru saja memasuki rumah.
"Saya baru saja pulang, Bu! Saya lelah!" Sang anak yang baru saja dua langkah melewati pintu itu segera melepas sepatu, Â berjalan gontai menuju kamarnya.
Sang ibu mengikuti anaknya. "Buat apa lelah sekolah! Membuang waktu saja! Lebih bekerja keraslah dalam mencari uang. Apa kau lihat, tetangga kita ..., anaknya baru saja membelikan orang tuanya mobil. Padahal anaknya hanya lulusan sekolah menengah saja!" Suara Ibu semakin keras.
"Itu urusan mereka. Kita juga tidak tahu, apa yang sudah dia jual atau gadaikan. Mungkin saja anaknya baru menang lotre."
"Katakan saja jika kau memang sudah tidak mau lagi membuat keluargamu bahagia! Kau pergi saja dari rumah ini!"
"Ibu mau mobil? Atau Ibu mau membeli gedung ini? Kenapa Ibu tidak jual saja satu ginjal Ibu! Aku sudah muak dengan semua yang ada di rumah ini!"
Dia adalah Yuri Anka, mahasiswi jurusan sastra yang baru masuk semester empat. Gadis cantik yang harus membagi waktunya antara bekerja dan mengerjakan tugas kuliah. Saat ini Yuri bekerja sebagai salah satu marketing di sebuah perusahaan waralaba. Posisinya sudah bagus, berkat kerja kerasnya hampir 10 tahun.
Yuri memang sudah bekerja di tempat itu sejak SMA, bekerja sebagai pekerja paruh waktu. Sebenarnya tidak hanya di tempat itu. Ada tiga tempat. Pekerja paruh waktu mempunyai bayaran yang tidak akan cukupÂ
Berkat kerja kerasnya kini telah duduk di kursi ketua tim marketing. Di usianya yang baru menginjak 30 tahun, Yuri memutuskan untuk melanjutkan S2 nya. Dengan pertimbangan, adik nya telah mendapatkan pekerjaan dan ayahnya telah membuka usaha.
Plak!
Perempuan yang di panggil ibu itu menampar pipi Yuri. Gadis itu hanya terdiam dan menatap tajam orang yang baru saja menamparnya. Ini bukan satu dua kali, sang ibu memang selalu melakukan hal yang sama bahkan sejak dua puluh tahun lalu.
"Dasar gadis tidak berguna! Pantas saja ibumu mati!" ucap sang ibu.
Yuri sudah biasa dengan makian dan cacian dari perempuan itu. Membela ibunya yang sering di hina oleh ibu tirinya juga sudah lelah ia lakukan.
Tapi kali ini dia sudah geram dan tak tahan dengan sikap ibu sambungnya itu. Yuri melempar sepatu yang sejak tadi di tangannya.
Brak!Â
Sang ibu terkejut. "Apa? Kau mau melawan Ibu, heh?" ucapnya sambil membusungkan dada.
"Nyonya Han! Anda tak lebih hanya sebuah benalu. Menempel dan menggerogoti keluarga ini. Sampai kapan Anda ada di sini?" Yuri melotot tajam ke arah seorang yang ia panggil Nyonya Han itu.
Joy, adik laki-laki Yuri yang juga baru pulang langsung menarik sang kakak agar menjauh dari ibunya itu.
"Lepaskan, Joy! Aku sudah muak dengan wanita ini!"
"Sadarlah, Kak! Kakak hanya akan membuat Ayah marah kalau tahu Kakak bertengkar lagi dengan Ibu,"
Joy memeluk erat Yuri. Tubuh Joy yang lebih besar dari Yuri membuatnya ringan saja menahan berontak nya sang Kakak.
Ibu meraih pisau di atas meja. Dengan tatapan bengis kakinya melangkah mendekati Yuri dan Joy. Tahu situasi nya Joy segera membawa Yuri ke dalam kamar. Wanita tua itu memang sudah gila. Dia psikopat yang Ayah simpan di dalam rumah mereka.
"Kau baik-baik saja, Kak?"
Yuri terdiam. Menarik napas kemudian mengembuskannya kasar. "Lama-lama aku bisa semakin gila karena keluarga ini," ucap Yuri. Matanya tajam menatap Joy. "Apa kau mabuk lagi, Joy?"
Joy beringsut. Menjauh dari Yuri, namun tidak dapat mengelak. Ada aroma alkohol bukan hanya di pakaiannya tapi napasnya juga. Bagaimana Yuri tidak tahu, bukankah beberapa menit lalu dia didekap kuat oleh Joy.
Joy sudah jadi pemabuk sejak SMP. Parah sekali. Saat Yuri mati-matian bekerja untuk hidup mereka, Joy justru bersenang-senang dan mabuk setiap malam bersama teman-temannya.
"Bukankah kau sudah berjanji, Joy? Apa kau suka sekali dengan hidup kita yang seperti ini selama bertahun-tahun?"
"Aku tidak bisa kalau tiba-tiba tidak minum. Kakak kan tahu sendiri seperti apa kawanku?"
"Kalau begitu jangan berteman dengan mereka!"
"Kakak pikir semudah itu untuk tidak mabuk? Kakak kan juga tahu aku anak baru di kantor. Dan sekarang mereka tahu kalau aku kuat minum---"
"Kau bohong!" ucap Yuri memotong kalimat Joy. "Kau pikir bisa bohongi Kakakmu? Hari ini aku bertemu Hanna dan dia bilang hari ini dia pulang cepat karena akan ada acara peresmian kantor besok pagi. Kau dan Hanna sama-sama karyawan baru dan di tempatkan pada divisi yang sama bukan?"
"Sudahlah, Kakak tidak perlu ikut campur dengan kehidupan ku." Â
"Apakah langit itu biru atau hijau, atau aku yang buta warna---sia-sia saja jika terus berusaha jika apa yang diusahakan tidak menghargainya,"
Malam sejuk di akhir bulan Oktober. Semua daun di halaman gedung telah luruh. Berguguran meninggalkan dahan yang bersiap tidur di musim dingin. Bulan baru telah muncul di tepi bukit, itu bulan yang bulat sempurna menggantung di kaki langit. Seharusnya itu indah di tengah kesunyian malam. Tapi kenyataannya tidak di rumah mereka. Di ruang tengah Ayah dan Ibu tengah bertengkar. Apalagi yang sedang mereka ributkan. Tentu saja persoalan uang.
Selalu seperti itu setiap satu minggu sekali, saat Ayah pulang dari tempat kerjanya. Bahkan tetangga mereka hanya betah dua tiga bulan tinggal bersebalahan dengan rumah mereka.
Yuri menutup telinganya dengan bantal. Dia lelah sekali setelah seharian bekerja lalu kuliah. Kedua orang yang tengah bertengkar di ruang tengah mana paham soal masalah orang lain yang butuh istirahat. Yang mereka tahu hanyalah uang, uang dan hanya uang. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H