Mohon tunggu...
umi sofiatunnisa
umi sofiatunnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Raden Mas Said Surakarta

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengantar Hukum Kewarisan Islam

12 Maret 2024   16:10 Diperbarui: 12 Maret 2024   16:16 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Review Book Pengantar Hukum Kewarisan Islam (Dr. Maimun Nawawi, M.H.I)

Umi Sofiatun Nisa

(222121145)

Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta, Indonesia

Abstract: 

     Dalam hukum Islam, hukum kewarisan ini menduduki tempat amat penting. Ayat Al-qur’an mengatur hukum kewarisan dengan jelas dan terperinci. Hal ini dapat dimengerti, bahwa sebab masalah kewarisan pasti dialami oleh setiap orang. Kecuali itu, hukum kewarisan langsung menyangkut harta benda yang apabila tidak diberikan ketentuan pasti, amat mudah menimbulkan sengketa di antara ahli waris. Adakalanya seseorang meninggal dunia dengan meninggalnya ahli waris yang masih dalam kandungan. Siapapun tidak mengetahui apakah anak yang sedang dikandung tersebut akan lahir dengan selamat atau sebaliknya meninggal dunia, laki-laki atau perempuan, tunggal atau kembar. Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan (ibu) akan berhak mewarisi bila lahir dalam keadaan hidup dan berada dalam ikatan perkawinan yang sah menurut syariat. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Abu Daud, dimana Rasulullah s.a.w., mengatakan: “apabila menangis anak yang baru lahir, maka dia mendapatkan warisan pula” Ini berarti bahwa kalau anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan (ibu) tersebut lahir dengan selamat, namun beberapa saat kemudian meninggal dunia, maka anak tersebut tidak (akan) mempunyai hak kewarisan.

     Pasal 2 KUHPerdata mengatur mengenai pengakuam yang dilakukan terhadap anak anak yang belum lahir. Artinya anak dalam kadungan seorang perempuan dianggap sebagi telah dilahirkan, bilamana kepentingan anak menghendakinya. Oleh karena bayi dalam kandungan itu dinyatakan sebagai orang yang pantas menerima hak, maka ia ditetapkan sebagai ahli waris yang berhak menerima harta warisan dari pewaris bila telah terdapat sebab dan syarat kewarisan pada dirinya. Di samping itu, para ulama menetapkan pula syarat-syarat seseorang dapat menguasai atau mengendalikan harta yang dimilikinya itu, yaitu setelah ia mencapai taraf yang disebut “rusydu’ dalam arti cerdas, yang padaumumnya dicapai setelah seseorang dinyatakan dewasa. Oleh karena masalah kewarisan itu hanya berkaitan dengan mendapatkan hak dan bukan menguasai atau mengendalikan hak, maka ditetapkan bahwa janin dalam kandungan adalah ahli waris yang berhak.

Keywords: Hukum Islam, Ahli Waris, Kandungan.

Introduction

     Dalam buku Pengantar Hukum Kewarisan Islam membahas tentang kelompok ahli waris dalam hukum waris Islam. Terdapat 3 kelompok utama: kelompok ahli waris cabang, kelompok ahli waris usul, dan kelompok hawashi. Kelompok ahli waris cabang terdiri dari anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki garis keturunan laki-laki, dan cucu perempuan garis keturunan laki-laki. Kelompok ahli waris usul terdiri dari bapak, ibu, kakek garis bapak, dan nenek garis ibu. Kelompok hawashi terdiri dari berbagai kerabat samping yang terdekat hingga keturunannya. Prioritas penerimaan warisan diberikan kepada kelompok ahli waris cabang karena kedekatannya dengan al-marhum.

     Tujuan Hukum Waris antara lain mengatur hak dan kewajiban keluarga al-marhum. Setelah seseorang meninggal dunia, maka ia tidak lagi punya hak atas hartanya kecuali tidak lebih dari 1/3 (sepertiga). Karena itu perlu ada hukum yang mengatur hak dan kewajiban keluarga yang ditinggalkan baik terhadap al-marhum maupun terhadap orang lain yang terkait. Serta menjaga harta warisan hingga sampai kepada individu yang berhak menerima.

 

Result and Discussion

Sub Title 1 

BAGIAN 1 

Pengantar Hukum Kewarisan Islam

     Dalam bab ini mencakup pengertian, tujuan, urgensi, dan sumber hukum kewarisan Islam.

  • Pengertian Hukum Kewarisan Islam
  •      Hukum Islam mencakup seluruh segi kehidupan manusia baik untuk urusan di dunia maupun di akhirat. Ada yang mengandung sanksi dan ada juga yang tidak. Sanksi hukum adakalanya yang langsung dirasakan di dunia seperti layaknya sanksi pada umumnya. Namun ada pula sanksi yang tidak dirasakan di dunia akan tetapi akan dipertanggung jawabkan secara individu di akhirat kelak dalam bentuk dosa dan balasannya.
  •      Secara etimologis mawarith berasal dari bentuk jamak kata mirath, yang merupakan masdar dari kata waratha, yarithu, wirathatan, wa mirathan, yang artinya peninggalan, berpindahnya sesuatu dari individu atau kelompok kepada individu atau kelompok lain, sesuatu itu bisa berupa harta, ilmu, kemuliaan dan sebagainya. Kata tersebut banyak digunakan dalam al Qur’an dalam bentuk kata kerja, misalnya waratha (QS. Al-Naml: 16), yang menjelaskan tentang nabi Sulaiman mewarisi kenabian nabi Daud AS. Ayat serupa juga terdapat dalam surat al-Zumr: 74 tentang pewarisan bumi terhadap umat manusia dan beberapa ayat lain.
  •      Kata mawaris juga sinonim dengan kata faraid yang berasal dari kata faridah yang artinya bagian bagian yang sudah ditentukan(al Mafrudah), kemudian dikenal dengan ilmu faraid, yaitu pengetahuan tentang pembagian harta waris. Penamaan ilmu tersebut dangan sebutan faraid karena dua alasan, pertama, Allah menyebutkan kata tersebut setelah perincian bagian warisan dengan kalimat farid atan min Allah, kemudian Nabi Muhammad dalam salah satu sabdanya tentang anjuran mempelajari ilmu ini juga menyebutkan dengan kalimat faraid, yaitu “Ta’allam al-Faraid. Kedua, Allah SWT menjelaskan kewajiban ibadah yang lain seperti shalat, puasa, dengan sebutan yang global tanpa ada perinciannya, namun khusus ilmu ini (faraid) dijelaskan secara terperinci termasuk bagian masing masing ahli waris.

  • Tujuan Hukum Kewarisan Islam

    Secara lebih khusus, tujuan hukum kewarisan Islam dapat dijabarkan sebagai berikut:

  • Mengatur hak dan kewajiban keluarga al-marhum. Setelah seseorang meninggal dunia, maka ia tidak lagi punya hak atas hartanya kecuali tidak lebih dari 1/3 (sepertiga).
  • Menjaga harta warisan hingga sampai kepada individu yang berhak menerima. Harta dalam bentuknya yang beragam, selalu menjadi buruan setiap orang, dan itu sangat manusiawi. Namun setiap bentuk harta yang ada di dunia ini sudah tentu ada pemiliknya yang dapat mengatur dan memelihara.
  • Keberlanjutan harta dalam setiap generasi Setelah manusia menjalankan perannya sebagai khalifah di muka bumi, lalu menghasilkan harta dan semacamnya, maka perlu dipikirkan bagaimana kondisi harta tersebut bisa tetap berlanjut dari generasi ke generasi berikutnya.
  • Menghindari sengketa persoalan warisan Tidak jarang terjadi kasus-kasus sengketa yang diakibatkan perebutan harta termasuk harta warisan.
  • Sarana distribusi ekonomi

  • Urgensi Hukum Kewarisan Islam
  •      Gambaran mengenai pentingnya hukum waris Islam sebagai sebuah ilmu mandiri, juga diilustrasikan oleh Nabi sebagai separuh dari agama Islam, separuh ilmu, dan ilmu pertama yang akan dicabut oleh Allah dari umat ini. Beberapa sahabat yang paling ditonjolkan pemahamannya tentang ilmu waris ini adalah Zaid bin Thabit, Ali ibn Abi Talib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud. Sebagaimana para sahabat yang lain ditonjolkan kemampuannya dalam mempelajari ilmu ilmu yang lainnya. Kemudian dilanjutkan penyebarannya oleh para tabi’in dan tabi’ al- tabi’in bahkan sampai masa-masa berikutnya sampai zaman sekarang.
  •      Anjuran Nabi agar para sahabat dan umat setelahnya senantiasa mempelajari dan terus mengajarkan ilmu waris karena mengingat pentingnya ilmu tersebut dalam menjaga keuTuhan kekerabatan dan keluarga. Setidaknya dengan adanya hukum yang mengatur tentang permasalahan waris, maka sebagian dari urusan pemenuhan kebutuhanmanusia yang merupakan bagian dari kebutuhanmanusia yang lima (al-daruriyyat al khamsah) dapat terpenuhi, yaitu pemenuhan akan pemeliharaan harta. Apalagi tidak jarang dijumpai bahwa naluriyah manusia memiliki kecenderungan materialistik, tidak adil, serakah, mendahulukan kepentingan sendiri. Di sinilah terletak urgensi hukum waris Islam sehingga wajib dipelajari dan diajarkan kepada yang lain
  • Sumber Hukum Kewarisan Islam
  •      Sistem hukum waris Islam pada dasarnya melanjutkan dan sekaligus merombak sistem hukum waris yang sudah dikenal oleh kebanyakan masyarakat arab pada masa jahiliyah. Artinya, masyarakat arab jahiliyah sudah mengenal sistem hukum waris, meskipun belum formal dan tidak berdasarkan pada aturan yang dapat memenuhi rasa keadilan. Sebagian kalangan memandang bahwa sistem hukum waris jahiliyah sebagai hukum yang berlandaskan hawa nafsu karena kekuatan fisik dan keharusan laki-laki dan dewasa menjadi tolok ukur utamanya.
  •      Ketika Islam datang dengan membawa aturan baru mengenai sistem hukum waris, mereka merasa terganggu. Islam datang dengan merubah beberapa sistem hukum yang sudah dipakai secara turun temurun. Salah satunya dengan memberikan bagian kepada ahli waris kerabat tanpa membedakan jenis kelamin, anak-anak ataupun dewasa.

BAGIAN II

Sejarah dan Perkembangan Hukum Pewarisan Islam

     Bagian ini membahas sejarah dan perkembangan hukum pewarisan dalam Islam dari masa pra-Islam hingga masa perkembangan Islam saat ini.

  • Kewarisan pada Masa Pra Islam
  •      Periode ini sebenarnya sangat jauh mundur ke belakang sebelum kedatangan Islam. Bisa saja di mulai dari praktik peralihan harta sejak nabi Adam sampai kehadiran nabi Muhammad. Namun karena keterbatasan kesempatan, maka akan dijabarkan beberapa kisah dari umat-umat masa lalu. Misalnya sistem kewarisan masa romawi kuno, yunani kuno, penduduk negeri timur kuno, kewarisan mesir kuno sampai masa beberapa tahun sebelum kedatangan Islam yang terkenal dengan masa jahiliyah.
  •      Dan di bawah ini akan dipaparkan secara ringkas beberapa sistem tersebut saja. Sistem kewarisan pada masa romawi kuno merupakan suatu istilah bagi pergantian penguasaan oleh seseorang yang dipilih oleh pewaris karena dipandang kuat dan berkompeten untuk menerima hak-hak dan memikul kewajiban-kewajiban yang akan diserahkan kepadanya. Salah satu kewajiban yang dipandang paling penting adalah kemampuan untuk berperang dan melindungi keluarga dari serangan musuh. Baik seseorang tersebut dari kalangan kerabat pewaris atau bukan. Dengan proses peralihan hak terebut maka seluruh apa yang dimilikinya berpindah tangan kepada pewaris tersebut sejak ditunjuk. Dengan berpindahnya segala yang ia miliki, maka kepemimpinan dalam rumah tangga dan pengaturan terhadap anak anaknya beralih kepada orang yang sudah ditunjuknya, meskipun si pewaris masih hidup.

  • Kewarisan pada Masa Awal Islam
  •      Pada awal kedatangan Islam yang ditandai dengan turunnya wahyu di gua hira’, sistem kewarisan masih belum banyak berubah, karena memang penyebaran Islam tidak langsung sekaligus, akan tetapi membutuhkan waktu untuk bisa diterima oleh masyarakat arab, bahkan oleh keluarga Muhammad sendiri. Sejarah mencatat bahwa pada awalnya nabi Muhammad belum berani secara frontal menyebarkan ajaran Islam, namun masih sembunyi sembunyi dan menghindari dakwah secara terbuka. Meskipun demikian tidak jarang ada oknom-oknom masyarakat Arab qurays yang melakukan tindakan yang tidak baik kepada Nabi dan pengikutnya, mulai dari kekerasan fisik sampai usulan kepada orang-orang yang berpengaruh secara sosial saat itu agar Muhammad disebut seorang dukun, gila, tukang sihir, penyair dan sebagainya.
  •      Untuk menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat arab jahiliyah bukan sesuatu yang mudah, apalagi masyarakat arab sudah memiliki beberapa budaya yang sulit untuk dihapus karena sudah berjalan secara turun temurun, dalam hal agama juga demikian, kebanyakan mereka penyembah berhala sebagaimana juga sudah diterima secara turun temurun dari nenek moyang mereka.

  • Kewarisan pada Masa Perkembangan Islam Sampai Sekarang
  •      Sejak kedatangan Nabi di Madinah dan membangun rumah tangga baru bersama para pengikut setianya, Islam semakin kuat, pengikutnya semakin hari semakin bertambah banyak, semakin hari semakin banyak orang yang berbai’at untuk bergabung dengan Islam terutama setelah kejadian fathu Makkah pada tahun ke-8 Hiriyah. Sejak kejadian fath makkah itulah Islam dikategorikan sebagai agama yang kuat dan banyak pengikutnya baik di Makkah tempat kelahirannya maupun di Madinah. Orang orang Makkah banyak yang secara sukarela berbondong bondong datang ke Madinah untuk masuk Islam. dan begitulah Islam terus berkembang ke seluruh penjuru arab dan sekitarnya.
  •      Dengan pesatnya kemajuan dan perkembangan agama Islam, maka tidak lagi diperlukan strategi-strategi yang sudah dijalankan sejak awal dalam hal kewarisan. Satu persatu sistem kewarisan yang masih meneruskan tradisi masyarakat Arab jahiliyah dihapuskan atau diubah sesuai ajaran Islam yang utuh. Termasuk sebab hijrah ke Madinah juga tidak lagi diberlakukan, sebagai akibat dari melaksanakan ajaran al-Qur’an yang secara berangsur angsur turun menyelesaiakan persoalan dan menjawab pertanyaan yang muncul.
  •  
  • BAGIAN III

Unsur unsur dan Syarat Kewarisan

  • Unsur-unsur yang dimaksud adalah;
  • Pewaris (al-muwarrith) Yaitu orang yang mewariskan hartanya. Bisa saja berasal dari orang tua, kerabat, atau salah satu di antara suami dan istri, dapat pula dikatakan bahwa pewaris itu adalah seseorang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup.
  • Ahli waris (al-warith) Yaitu seseorang yang mempunyai hubungan kerabat yang menyebabkan kewarisan, yaitu hubungan kerabat (al-Qarabah), hubungan perkawinan, dan hubungan akibat memerdekakan hamba sahaya. Dengan adanya hubungan kekerabatan, seseorang tidak berarti secara otomatis menjadi ahli waris yang berhak memperoleh bagian.
  • Harta Waris (al-mirath) Unsur harta merupakan unsur yang sangat penting bahkan lebih penting dari dua unsur sebelumnya, karena meskipun dua unsur pewaris dan ahli waris ada dan memenuhi syarat yang sudah ditetapkan, namun unsur harta tidak ada, maka tidak akan terjadi kewarisan. Dalam hukum Islam harta warisan dimaknai sebagai segala sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli warisnya.
  • Penghalang Saling Mewarisi (al-Mawani’ al-Irth) Dalam hukum kewarisan Islam ada beberapa hal yang dapat menggugurkan hak-hak ahli waris untuk menerima warisan dari pewaris, sebagaimana dijelaskan secara ringkas pada syarat-syarat ahli waris di atas. Pada bagian ini dijelaskan kembali dengan lebih terperinci mengenai hal-hal atau penghalang (al-Hail) yang dapat menjadikan seseorang ahli waris tidak mendapat bagian warisan. Secara mahasa al-Mani’ berarti al-Hail (penghalang), jama’nya al-Mawani’ (beberapa penghalang), jika dimudhafkan dengan kata al-irth maka menjadi al-mawani’ al-Irth (beberapa penghalang kewarisan). Sedangkan secara istilah adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang kehilangan haknya secara hukum karena terpenuhinya sebab-sebab yang mengarah kepada adanya sesuatu tersebut pada diri seseorang tadi.

BAGIAN IV

Pengelompokan Ahli Waris

     Ahli waris dalam bahasa arab dikenal dengan al-warith, yaitu orang yang berhak menerima harta warisan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia. Orang orang yang masuk ke daftar ahli waris sudah ditentukan keberadaannya secara ijbari melalui aturan-aturan normatif baik dari al-Qur’an dan hadith maupun dari hasil penafsiran atas kedua sumber di atas. Dengan demikian tidak seorangpun bisa mengupayakan untuk masuk menjadi anggota ahli waris dari seseorang dan juga sebaliknya. Tidak ada seseorang yang bisa menghapus atau menghilangkan hak seseorang untuk keluar dari daftar ahli waris yang sah.

A. Kelompok Ahli Waris Berdasarkan Hubungan Kekerabatan

1. Ahli Waris Nasabiyah Ahli waris nasabiyah adalah ahli waris yang menerima warisan karena mereka memiliki hubungan darah dengan si mati, yaitu hubungan nasab atau keturunan, baik ke bawah, ke atas, maupun ke samping. Ahli waris nasabiyah semuanya berjumlah 20 orang jika diperinci baik dari kelompok laki-laki maupun kelompok perempuan. laki-laki 13 orang dan perempuan 8 orang.

Kelompok ahli waris nasabiyah yang laki-laki secara berurutan dapat disebutkan secara terperinci sebagai berikut:

  • Anak laki-laki (al-Ibn) 
  • Cucu laki-laki keturunan anak laki-laki (Ibn al-Ibn) 
  • Bapak (al-Abb)
  • Kakek dari garis bapak dan seterusnya ke atas (al Jadd)
  • Saudara laki-laki sekandung (al-akh al-shaqiq) 
  • Saudara laki-laki sebapak (al-Akh li Abb) 
  • Saudara laki-laki seibu (al-Akh li Umm) 
  • Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung (ibn al Akh al-Shaqiq) 
  • Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak (ibn al Akh li Abb) 
  • Paman sekandung (al ‘Amm al-Shaqiq) 
  • Paman sebapak (al ‘Amm li Ab)
  • Anak laki-laki paman sekandung (ibn al ‘Amm al Shaqiq)
  • Anak laki-laki paman sebapak (Ibn al ‘Amm li Abb) 

Sedangkan Ahli waris kelompok perempuan dari golongan nasabiyah terdapat 8 ahli waris jika diperinci, mereka adalah:

  • Anak Perempuan (al-Bint)
  • Cucu perempuan keturunan laki-laki dan seterusnya ke bawah (bint al-Ibn wa in nazal) 
  • Ibu (al-umm)
  • Nenek garis ibu (al-jaddah min al-umm) 
  • Nenek garis bapak (al-jaddah min al-Ab) 
  • Saudara Perempuan sekandung (al-Ukht al Shaqiqah) 
  • Saudara Perempuan Sebapak (al-Ukht li Ab)
  • Saudara Perempuan seibu (al-Ukht li umm)
  • 2. Ahli Waris Sababiyah
  •      Sesuai dengan namanya, ahli waris sababiyah adalah para ahli waris yang kewarisannya didapat karena ada sebab-sebab tertentu yang sesuai dengan ketentuan syari’at. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu yang menyebabkan seseorang saling mewarisi adalah karena adanya perkawinan yang sah dan adanya hubungan wala’ atau memerdekakan hamba sahaya. Oleh karena sebab-sebab itulah seseorang mendapatkan warisan dan dapat memberikan warisan, ahli waris yang seperti ini disebut ahli waris sababiyah.
  • Oleh karena itu ahli waris sababiyah ini tidak terlalu banyak, yaitu:
  • Ahli waris sebab perkawinan, terdiri dari suami atau istri saja.
  • Ahli waris sebab memerdekakan hamba sahaya, yaitu tuan (laki-laki atau perempuan) yang memerdekakan hamba.
  • Dan satu lagi menurut mazhab Hanafi, adalah ahli waris yang menerima warisan disebabkan adanya perjanjian dan tolong menolong antara dua belah pihak.
  • B. Kelompok Ahli Waris Berdasarkan Kadar Perolehan Harta
  • 1. Ahli waris penerima bagian tertentu (dhaw al-furud) dan hak-haknya
  •      Ahli waris kelompok dhaw al-furud, adalah ahli waris yang berhak mendapat bagian-bagian yang sudah ditentukan (al-furud al-muqaddarah). Karena itu sebelum merinci semua daftar ahli waris yang masuk kategori kelompok ini perlu dijabarkan terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud al-furud almuqaddarah. Istilah al-Furud al-Muqaddarah berasal dari dua kata, yaitu al-furud kata jama’ dari lafadz fard dan kata muqaddarah kemudian kedua kata tersebut digabung dalam susunan kalimat sifat menyifati (na’at man’ut), dengan makna bagian-bagian yang sudah ditentukan sesuai kitab Allah dan rasulnya.
  •  Bagian-bagian yang sudah ditentukan tersebut ada 6 macam, yaitu:
  • Bagian setengah (al-Nisf) = 1/2
  • Bagian sepertiga (al-thuluth) = 1/3
  • Bagian seperempat (al-rub’u) = 1/4
  • Bagian seperenam (al-sudus) = 1/6
  • Bagian seperdelapan (thumun) = 1/8
  • Bagian duapertiga (Thuluthani) = 2/3
  • 2. Ahli waris penerima sisa (dhaw al ‘Asabah) dan hak haknya
  •       Ahli waris dhaw al ‘asabah adalah ahli waris yang berhak menerima sisa(‘asabah) harta setelah dibagikan kepada ahli waris dhaw al-furud, urutan pembagiannya adalah setelah harta dibagi kepada ahli waris penerima bagian tertentu dan masih ada sisa harta, maka sisa harta tersebut merupakan hak ahli waris penerima sisa. Perlu ditegaskan di sini bahwa meskipun bagian ahli waris penerima sisa menunggu pembagian ahli waris dhaw al-furud, tidak berarti bahwa derajat kedekatan ahli waris ‘asabah lebih rendah dari dhaw al furud, melainkan hanya dalam urutan pembagian saja dhaw al-furud didahulukan, karena untuk menentukan ada sisa harta atau tidaknya, harus menunggu harta diberikan kepada ahli waris dhaw al-furud terlebih dahulu.

3. Ahli waris dhaw al-Arham dan hak-haknya

    Ahli waris dhaw al-Arham menurut istilah para ulama’ adalah para ahli waris kerabat yang tidak termasuk pada daftar ahli waris dhaw al-furud dan juga tidak ada dalam daftar ahli waris dhaw ‘asabah. Secara bahasa kata arham berasal dari al-Rahm yang berarti tempat tumbuhnya janin yang berada di dalam perut seorang ibu atau sering di sebut rahim, berdasarkan kata rahim tersebut kemudian dijadikan sebagai hubungan kekerabatan secara umum, baik dari garis laki-laki maupun garis perempuan, dengan landasan bahwa seseorang dipandang mempunyai hubungan kerabat karena berasal dari dari rahim ibu yang sama.

  • Ahli Waris Hijab-Mahjub Al-Hajb

     Secara bahasa berarti al-man’u (terhalang) atau al-hirman (terlarang). Orang yang menghalangi dikenal dengan al-Hajib sedangkan yang dihalangi disebut dengan al-Mahjub. Secara istilah al-hajb menurut para ahli fiqh adalah terhalangnya seorang ahli waris untuk mendapatkan bagian warisan baik semuanya atau sebagian saja karena adanya ahli waris lain yang lebih utama derajatnya.

Dalam hal ini ada dua macam, yaitu:

  • Hijab Nuqsan yaitu ahli waris yang mendapat bagian tidak secara maksimal bagiannya, akan tetapi bagiannya berkurang disebabkan bersama dengan ahli waris lain yang lebih dekat dengan pewaris.
  • Hijab Hirman adalah ahli waris yang terhalang secara total dari perolehan kewarisan karena ada ahli waris lain yang lebih dekat kepada pewaris dan lebih berhak atas bagian harta secara keseluruhan.

BAGIAN V

Metode Perhitungan Harta Waris

  •      Untuk menerapkan metode perhitungan dalam pembagian harta waris hendaknya berpedoman kepada susunan ahli waris yang sudah jelas tertib derajat kekerabatannya dan jauh dekatnya dengan pewaris. Memahami bagian-bagian yang sudah ditentukan (furud al-muqaddarah), dan sebagainya.
  • Penetapan Angka Asl al- mas’alah Asl al- mas’alah adalah bilangan terkecil yang dapat dibagi habis oleh angka penyebut dari masing-masing furud, angka asl al- mas’alah sering dikonotasikan dengan angka kelipatan persekutuan terkecil (KPK). Dengan adanya angka asl al- mas’alah perolehan (al siham) masing-masing ahli waris dapat diketahui secara benar. Asl al- mas’alah juga mempermudah dalam perhitungan pembagian warisan, dengan asal masalah juga dapat ketahui lebih awal apakah harta akan lebih atau malah kurang, sehingga perlu dibagi dengan cara radd atau ‘aul. Perlu dipahami bahwa asal masalah berbeda-beda sesuai perbedaan ahli waris. Ahli waris adakalanya terdiri dari dhaw al-furud dan adakalanya juga berasal dari dhaw al ‘asabah. Asal masalah juga berbeda antara jika ahli warisnya hanya seorang dan jika ahli warisnya lebih dari satu orang.
  • Metode Tashih al-Mas’alah Pada hakikatnya tidak ada dari ahli waris yang tidak menginginkan mendapat bagian sesuai dengan angka dan bagian masing-masing secara benar, dan semua itu menjadi tujuan yang harus dicapai dalam pembagian harta warisan, yaitu menegakkan keadilan secara utuh dan sempurna, sampai kita dapat mengetahui kadar bagian masing-masing ahli waris yang berhak tanpa ada yang hilang sedikitpun.
  • Pembagian Secara ‘Aul Lafadz ‘aul secara bahasa berarti meningkat (al Irtifa’) atau bertambah (al-Ziyadah). Sedang menurut istilah ahli fiqh ‘aul adalah meningkatkan angka asal masalah yang diperoleh dari jumlah total perolehan (siham) masing-masing ahli waris. Peningkatan angka asal masalah tersebut dalam rangka menghindari kekurangan harta, karena jika angka asal masalah tidak ditingkatkan, maka akan terjadi kekurangan harta. Inilah salah satu manfaat praktis adanya asal masalah. ‘Aul biasanya terjadi ketika ahli waris banyak dan semuanya berasal dari rumpun ahli waris dhaw al-furud, sehingga menghabiskan semua harta dan bahkan bisa kekurangan harta, sehingga diperlukan meninggikan asal masalah, agar semua ahli furud dapat memperoleh hak haknya.
  • Pembagian Secara Radd Di samping ada kasus kekurangan harta, maka juga muncul adanya kasus kelebihan harta dan sudah tidak ada lagi ahli waris yang berhak menerimanya. Apabila terjadi kelebihan harta, maka siapa ahli waris yang berhak untuk menerima sisanya. Dalam hal ini kemudian ditemukan satu metode yang dikenal dengan radd. Radd secara bahasa berarti mengembalikan. Sedangkan secara istilah adalah mengembalikan sisa harta kepada ahli waris tertentu secara proporsional sesuai bagian yang diterimanya. Masalah radd bisa terjadi karena tidak ada ahli waris dari rumpun ‘asabah.

BAGIAN VI

Kewarisan Adat dan Relevansinya dengan Pewarisan Islam

Bagian ini membahas tentang kewarisan adat dan hubungannya dengan pewarisan dalam Islam. Beberapa poin penting yang dibahas dalam bagian ini meliputi:

  • Pengertian Sistem Hukum Waris Adat di Indonesia: Penjelasan mengenai sistem hukum waris adat yang berlaku di Indonesia, yang sering kali berbeda dengan hukum pewarisan Islam.
  • Hubungan Hukum Islam dan Hukum Adat: Pembahasan tentang bagaimana hukum Islam dan hukum adat saling berhubungan dalam konteks pewarisan, serta upaya untuk menemukan keselarasan antara keduanya.
  • Model Pembagian Harta Waris dalam Hukum Waris Adat: Penjelasan mengenai model pembagian harta waris dalam hukum waris adat, yang dapat berbeda dengan prinsip-prinsip pewarisan dalam Islam.

Bagian ini memberikan pemahaman tentang kompleksitas hubungan antara hukum pewarisan Islam dan hukum waris adat, serta relevansi dan tantangan yang muncul dalam menghadapi perbedaan antara keduanya.

Bibliography

Maimun Nawawi. Pengantar Hukum Kewarisan Islam. Surabaya, Pustaka Radja, Maret 2016

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun