Mohon tunggu...
umi sofiatunnisa
umi sofiatunnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Raden Mas Said Surakarta

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengantar Hukum Kewarisan Islam

12 Maret 2024   16:10 Diperbarui: 12 Maret 2024   16:16 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Result and Discussion

Sub Title 1 

BAGIAN 1 

Pengantar Hukum Kewarisan Islam

     Dalam bab ini mencakup pengertian, tujuan, urgensi, dan sumber hukum kewarisan Islam.

  • Pengertian Hukum Kewarisan Islam
  •      Hukum Islam mencakup seluruh segi kehidupan manusia baik untuk urusan di dunia maupun di akhirat. Ada yang mengandung sanksi dan ada juga yang tidak. Sanksi hukum adakalanya yang langsung dirasakan di dunia seperti layaknya sanksi pada umumnya. Namun ada pula sanksi yang tidak dirasakan di dunia akan tetapi akan dipertanggung jawabkan secara individu di akhirat kelak dalam bentuk dosa dan balasannya.
  •      Secara etimologis mawarith berasal dari bentuk jamak kata mirath, yang merupakan masdar dari kata waratha, yarithu, wirathatan, wa mirathan, yang artinya peninggalan, berpindahnya sesuatu dari individu atau kelompok kepada individu atau kelompok lain, sesuatu itu bisa berupa harta, ilmu, kemuliaan dan sebagainya. Kata tersebut banyak digunakan dalam al Qur’an dalam bentuk kata kerja, misalnya waratha (QS. Al-Naml: 16), yang menjelaskan tentang nabi Sulaiman mewarisi kenabian nabi Daud AS. Ayat serupa juga terdapat dalam surat al-Zumr: 74 tentang pewarisan bumi terhadap umat manusia dan beberapa ayat lain.
  •      Kata mawaris juga sinonim dengan kata faraid yang berasal dari kata faridah yang artinya bagian bagian yang sudah ditentukan(al Mafrudah), kemudian dikenal dengan ilmu faraid, yaitu pengetahuan tentang pembagian harta waris. Penamaan ilmu tersebut dangan sebutan faraid karena dua alasan, pertama, Allah menyebutkan kata tersebut setelah perincian bagian warisan dengan kalimat farid atan min Allah, kemudian Nabi Muhammad dalam salah satu sabdanya tentang anjuran mempelajari ilmu ini juga menyebutkan dengan kalimat faraid, yaitu “Ta’allam al-Faraid. Kedua, Allah SWT menjelaskan kewajiban ibadah yang lain seperti shalat, puasa, dengan sebutan yang global tanpa ada perinciannya, namun khusus ilmu ini (faraid) dijelaskan secara terperinci termasuk bagian masing masing ahli waris.

  • Tujuan Hukum Kewarisan Islam

    Secara lebih khusus, tujuan hukum kewarisan Islam dapat dijabarkan sebagai berikut:

  • Mengatur hak dan kewajiban keluarga al-marhum. Setelah seseorang meninggal dunia, maka ia tidak lagi punya hak atas hartanya kecuali tidak lebih dari 1/3 (sepertiga).
  • Menjaga harta warisan hingga sampai kepada individu yang berhak menerima. Harta dalam bentuknya yang beragam, selalu menjadi buruan setiap orang, dan itu sangat manusiawi. Namun setiap bentuk harta yang ada di dunia ini sudah tentu ada pemiliknya yang dapat mengatur dan memelihara.
  • Keberlanjutan harta dalam setiap generasi Setelah manusia menjalankan perannya sebagai khalifah di muka bumi, lalu menghasilkan harta dan semacamnya, maka perlu dipikirkan bagaimana kondisi harta tersebut bisa tetap berlanjut dari generasi ke generasi berikutnya.
  • Menghindari sengketa persoalan warisan Tidak jarang terjadi kasus-kasus sengketa yang diakibatkan perebutan harta termasuk harta warisan.
  • Sarana distribusi ekonomi

  • Urgensi Hukum Kewarisan Islam
  •      Gambaran mengenai pentingnya hukum waris Islam sebagai sebuah ilmu mandiri, juga diilustrasikan oleh Nabi sebagai separuh dari agama Islam, separuh ilmu, dan ilmu pertama yang akan dicabut oleh Allah dari umat ini. Beberapa sahabat yang paling ditonjolkan pemahamannya tentang ilmu waris ini adalah Zaid bin Thabit, Ali ibn Abi Talib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud. Sebagaimana para sahabat yang lain ditonjolkan kemampuannya dalam mempelajari ilmu ilmu yang lainnya. Kemudian dilanjutkan penyebarannya oleh para tabi’in dan tabi’ al- tabi’in bahkan sampai masa-masa berikutnya sampai zaman sekarang.
  •      Anjuran Nabi agar para sahabat dan umat setelahnya senantiasa mempelajari dan terus mengajarkan ilmu waris karena mengingat pentingnya ilmu tersebut dalam menjaga keuTuhan kekerabatan dan keluarga. Setidaknya dengan adanya hukum yang mengatur tentang permasalahan waris, maka sebagian dari urusan pemenuhan kebutuhanmanusia yang merupakan bagian dari kebutuhanmanusia yang lima (al-daruriyyat al khamsah) dapat terpenuhi, yaitu pemenuhan akan pemeliharaan harta. Apalagi tidak jarang dijumpai bahwa naluriyah manusia memiliki kecenderungan materialistik, tidak adil, serakah, mendahulukan kepentingan sendiri. Di sinilah terletak urgensi hukum waris Islam sehingga wajib dipelajari dan diajarkan kepada yang lain
  • Sumber Hukum Kewarisan Islam
  •      Sistem hukum waris Islam pada dasarnya melanjutkan dan sekaligus merombak sistem hukum waris yang sudah dikenal oleh kebanyakan masyarakat arab pada masa jahiliyah. Artinya, masyarakat arab jahiliyah sudah mengenal sistem hukum waris, meskipun belum formal dan tidak berdasarkan pada aturan yang dapat memenuhi rasa keadilan. Sebagian kalangan memandang bahwa sistem hukum waris jahiliyah sebagai hukum yang berlandaskan hawa nafsu karena kekuatan fisik dan keharusan laki-laki dan dewasa menjadi tolok ukur utamanya.
  •      Ketika Islam datang dengan membawa aturan baru mengenai sistem hukum waris, mereka merasa terganggu. Islam datang dengan merubah beberapa sistem hukum yang sudah dipakai secara turun temurun. Salah satunya dengan memberikan bagian kepada ahli waris kerabat tanpa membedakan jenis kelamin, anak-anak ataupun dewasa.

BAGIAN II

Sejarah dan Perkembangan Hukum Pewarisan Islam

     Bagian ini membahas sejarah dan perkembangan hukum pewarisan dalam Islam dari masa pra-Islam hingga masa perkembangan Islam saat ini.

  • Kewarisan pada Masa Pra Islam
  •      Periode ini sebenarnya sangat jauh mundur ke belakang sebelum kedatangan Islam. Bisa saja di mulai dari praktik peralihan harta sejak nabi Adam sampai kehadiran nabi Muhammad. Namun karena keterbatasan kesempatan, maka akan dijabarkan beberapa kisah dari umat-umat masa lalu. Misalnya sistem kewarisan masa romawi kuno, yunani kuno, penduduk negeri timur kuno, kewarisan mesir kuno sampai masa beberapa tahun sebelum kedatangan Islam yang terkenal dengan masa jahiliyah.
  •      Dan di bawah ini akan dipaparkan secara ringkas beberapa sistem tersebut saja. Sistem kewarisan pada masa romawi kuno merupakan suatu istilah bagi pergantian penguasaan oleh seseorang yang dipilih oleh pewaris karena dipandang kuat dan berkompeten untuk menerima hak-hak dan memikul kewajiban-kewajiban yang akan diserahkan kepadanya. Salah satu kewajiban yang dipandang paling penting adalah kemampuan untuk berperang dan melindungi keluarga dari serangan musuh. Baik seseorang tersebut dari kalangan kerabat pewaris atau bukan. Dengan proses peralihan hak terebut maka seluruh apa yang dimilikinya berpindah tangan kepada pewaris tersebut sejak ditunjuk. Dengan berpindahnya segala yang ia miliki, maka kepemimpinan dalam rumah tangga dan pengaturan terhadap anak anaknya beralih kepada orang yang sudah ditunjuknya, meskipun si pewaris masih hidup.

  • Kewarisan pada Masa Awal Islam
  •      Pada awal kedatangan Islam yang ditandai dengan turunnya wahyu di gua hira’, sistem kewarisan masih belum banyak berubah, karena memang penyebaran Islam tidak langsung sekaligus, akan tetapi membutuhkan waktu untuk bisa diterima oleh masyarakat arab, bahkan oleh keluarga Muhammad sendiri. Sejarah mencatat bahwa pada awalnya nabi Muhammad belum berani secara frontal menyebarkan ajaran Islam, namun masih sembunyi sembunyi dan menghindari dakwah secara terbuka. Meskipun demikian tidak jarang ada oknom-oknom masyarakat Arab qurays yang melakukan tindakan yang tidak baik kepada Nabi dan pengikutnya, mulai dari kekerasan fisik sampai usulan kepada orang-orang yang berpengaruh secara sosial saat itu agar Muhammad disebut seorang dukun, gila, tukang sihir, penyair dan sebagainya.
  •      Untuk menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat arab jahiliyah bukan sesuatu yang mudah, apalagi masyarakat arab sudah memiliki beberapa budaya yang sulit untuk dihapus karena sudah berjalan secara turun temurun, dalam hal agama juga demikian, kebanyakan mereka penyembah berhala sebagaimana juga sudah diterima secara turun temurun dari nenek moyang mereka.

  • Kewarisan pada Masa Perkembangan Islam Sampai Sekarang
  •      Sejak kedatangan Nabi di Madinah dan membangun rumah tangga baru bersama para pengikut setianya, Islam semakin kuat, pengikutnya semakin hari semakin bertambah banyak, semakin hari semakin banyak orang yang berbai’at untuk bergabung dengan Islam terutama setelah kejadian fathu Makkah pada tahun ke-8 Hiriyah. Sejak kejadian fath makkah itulah Islam dikategorikan sebagai agama yang kuat dan banyak pengikutnya baik di Makkah tempat kelahirannya maupun di Madinah. Orang orang Makkah banyak yang secara sukarela berbondong bondong datang ke Madinah untuk masuk Islam. dan begitulah Islam terus berkembang ke seluruh penjuru arab dan sekitarnya.
  •      Dengan pesatnya kemajuan dan perkembangan agama Islam, maka tidak lagi diperlukan strategi-strategi yang sudah dijalankan sejak awal dalam hal kewarisan. Satu persatu sistem kewarisan yang masih meneruskan tradisi masyarakat Arab jahiliyah dihapuskan atau diubah sesuai ajaran Islam yang utuh. Termasuk sebab hijrah ke Madinah juga tidak lagi diberlakukan, sebagai akibat dari melaksanakan ajaran al-Qur’an yang secara berangsur angsur turun menyelesaiakan persoalan dan menjawab pertanyaan yang muncul.
  •  
  • BAGIAN III

Unsur unsur dan Syarat Kewarisan

  • Unsur-unsur yang dimaksud adalah;
  • Pewaris (al-muwarrith) Yaitu orang yang mewariskan hartanya. Bisa saja berasal dari orang tua, kerabat, atau salah satu di antara suami dan istri, dapat pula dikatakan bahwa pewaris itu adalah seseorang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup.
  • Ahli waris (al-warith) Yaitu seseorang yang mempunyai hubungan kerabat yang menyebabkan kewarisan, yaitu hubungan kerabat (al-Qarabah), hubungan perkawinan, dan hubungan akibat memerdekakan hamba sahaya. Dengan adanya hubungan kekerabatan, seseorang tidak berarti secara otomatis menjadi ahli waris yang berhak memperoleh bagian.
  • Harta Waris (al-mirath) Unsur harta merupakan unsur yang sangat penting bahkan lebih penting dari dua unsur sebelumnya, karena meskipun dua unsur pewaris dan ahli waris ada dan memenuhi syarat yang sudah ditetapkan, namun unsur harta tidak ada, maka tidak akan terjadi kewarisan. Dalam hukum Islam harta warisan dimaknai sebagai segala sesuatu yang ditinggalkan oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli warisnya.
  • Penghalang Saling Mewarisi (al-Mawani’ al-Irth) Dalam hukum kewarisan Islam ada beberapa hal yang dapat menggugurkan hak-hak ahli waris untuk menerima warisan dari pewaris, sebagaimana dijelaskan secara ringkas pada syarat-syarat ahli waris di atas. Pada bagian ini dijelaskan kembali dengan lebih terperinci mengenai hal-hal atau penghalang (al-Hail) yang dapat menjadikan seseorang ahli waris tidak mendapat bagian warisan. Secara mahasa al-Mani’ berarti al-Hail (penghalang), jama’nya al-Mawani’ (beberapa penghalang), jika dimudhafkan dengan kata al-irth maka menjadi al-mawani’ al-Irth (beberapa penghalang kewarisan). Sedangkan secara istilah adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang kehilangan haknya secara hukum karena terpenuhinya sebab-sebab yang mengarah kepada adanya sesuatu tersebut pada diri seseorang tadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun