Giliran teman berikutnya, dia ingin menjadi dokter kucing, gerrrr---lagi suasana  kelas lebih heboh, seperti ada tawon beterbangan yang diganggu sarangnya.
Dokter hewan tah? kata temen yang lain lagi.
" Mengapa ingin menjadi dokter kucing?" tanya, Bu Guru, sambil menahan tawa.
Kata temanku itu, supaya bisa menyembuhkan kucing- kucing yang sakit, karena pas kucingnya sakit, di desa kami tidak ada dokter kucing, Â seandainya ada dokter kucing, mungkin kucing peliharaannya bisa diobati.Â
Bu Guru, lagi lagi cuma mesam- mesem aja.Kali aja belio ingat mass kecilnya sendiri dulu ya?
Eh, Kok, Bu Guru, lalu mendekatiku dan bertanya apa cita-cita ku?
Aku sebenarnya tidak mengangkat tangan, lah kok malah dapat giliran ditanya.Gimana sih, Bu Guru ini, dalam hatiku protes, tapi tetap harus kujawab dengan jujur, kan?
"Saya belum punya cita-cita, Buk," jawabku Teman-teman ku pada ngikik, dikira lucu, padahal aku menjawab apa adanya.
Memang bener, aku jujur kok, belum punya cita-cita yang nyangkut di kepalaku. Dan aku dilarang berbohong oleh ibuku. Mengapa bicara jujur malah ditertawakan?
--
Waktu terus berjalan maju, tibalah saatnya ak berseragam abu-abu putih, aku mulai berpikir tentang cita-cita. Aku ngin begini, begitu, ingin ini, ingin itu, banyak sekali keinginan ku, padahal cita-cita itu seharusnya kan cuma satu,ya.