"Enggak,Ning, bukan Mas Firman yang memberitahu ku, jangan salahkan dia!"kata Husni, membela.
"Iya, iya, Mbah Kung, yang keceplosan ngomong kalau kamu ada di sini,Ning!" sela kakekku seakan merasa bersalah.
Lalu istrinya menyusul, Husni bergeser, memberi kesempatan kami bercipika-cipiki, aku tak bisa mengelak, bagaimana pun, kami dulu pernah berteman.
"Terima kasih atas semua bantuanmu, Ning,---dia menghambur memelukku--'sungguh aku malu dengan sikapku yang egois,---mari kita jangan putus persaudaraan' --," suaranya terbata-bata, berbisik di telingaku, mendekap ku erat cukup lama, menahan isak tangisnya, duh! Aku seperti patung berdiri, kaku.
Ketika melepas pelukannya, kami bertatapan, Denga raut wajah keharuan yang sama, lalu ia mengusap matanya dengan tissue. Sungguh, pertemuan dengan suasana seperti ini, tak pernah kubayangkan. Lidahku kelu, tak tahu harus berkata apa.
Mas Firman yang ada disampingku, menyelipkan tissue ke telapak tangan ku, sambil berbisik,"jemputan sudah menunggu," katanya lirih.Aku tahu maksudnya.
"Iya, iya, syukurlah satu masalah sudah teratasi, tapi maaf, aku sudah akan berangkat pulang," kataku kemudian.
Betapa ingin aku lekas bebas berlari dari situasi mendadak ini.
Kemudian aku pamit, salim dengan Mbah Kung, mencium punggung tangannya, diciumnya keningku dengan penuh kasih,"berhati-hatilah dalam perjalanan!" ucapnya.
Terakhir, yang hampir luput dari perhatian ku, anak laki-lakinya Husni, kuhampiri, dengan santunnya dia menerima uluran tangan ku, lalu menempelkan di keningnya, aih,cakepnya nih anak! Ku beri senyumku yang termanis, agar di tahu bahwa aku pun, mengasihinya.
Lambaian tangan perpisahan, aku dan Mas Firman, lakukan setelah mobil mulai berjalan, meninggalkan rumah kakekku.