Mohon tunggu...
Umi Setyowati
Umi Setyowati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Suka membaca apa saja, sesekali menulis sekedar berbagi cerita.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Lonely Marriage karena Perbedaan Profesi dan Hobi

28 Oktober 2024   13:02 Diperbarui: 28 Oktober 2024   13:10 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Love. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Prostooleh

Kompasianer, perbedaan profesi dan hobi pasangan, salah duanya ini juga bisa memicu terjadinya kesepian dalam pernikahan loh! Kok bisa?

Mari kita ulik bersama.

Pasangan berbeda profesi.

Misalnya, suami seorang guru, istri karyawan swasta atau sebaliknya. Dalam artian, masing-masing fokus pada hal yang berbeda. Atau pekerjaan apapun yang berbeda dengan pasangan kita.

Hobi juga berbeda, suami hobi nonton sepak bola, istri suka membaca fiksi.

Lalu bagaimana caranya, dua hal yang berbeda ini bisa kompromi sehingga 'lonely marriage ' bisa dihindari.

Saya pernah mengalami sendiri, oleh karena itu, saya berani nimbrung di Topik Pilihan Kompasiana untuk berbagi pengalaman, siapa tahu apa yang saya alami dulu, saat ini ada kompasianer yang sedang mengalaminya.

Saya berbagi cerita ya, dari pengalaman sendiri, bukan sedang memberi tips.Tips-tips yang yang pernah saya baca lebih banyak bicara teori, dan belum tentu pula yang memberi tips-tips itu sudah berhasil menerapkannya.

Begini ceritanya.

Saya dan suami latar pendidikan berbeda prodi  meskipun di PT yang sama. Dus, ketika menapak dunia karier, pun berbeda profesi. Di awal pernikahan sebelum hadirnya buah hati, situasi berjalan normal dan baik-baik saja.

Kami sering ngobrol tentang pekerjaan masing-masing dalam hal hambatan atau pencapaian. Saya selalu membaca hal-hal, perkembangan yang terjadi di luaran sana tentang bidang di mana suami berkecimpung. Supaya obrolan nyambung. Pun sebaliknya,dia melakukan hal yang sama. Ini salah satu komitmen kami sebelum memutuskan menikah, saling mendukung.

Tetapi setelah kelahiran buah hati, momen itu jarang kami lakukan. Mengurus anak dan juga bekerja di luar rumah, rasanya capek banget, pekerjaan rumah tangga tidak ada habisnya meskipun ada yang mengasuh si kecil ketika kami tinggal bekerja.

Di saat saya butuh bantuan, suami barulah turun tangan, kadang dengan rona muka yang tidak sedap dipandang mata.

Kalau kemudian kami jarang ngobrol, sebenarnya saya yang males mengajak bicara, bawaan saya baper mulu.

Jadinya suami semakin menggila dengan hobinya nonton bola sendiri.Ponsel selalu ada dalam genggaman, ke kamar mandi sekali pun. Seolah tidak ingin melewatkan sedetik pun keseruan streaming yang ditonton.Sementara saya report beberes sambil menggendong anak. Tidak ada waktu lagi membaca buku fiksi.

Duh, rasanya pingin banget ku tinggalin aja dia, biar mengurus rumah sendiri.Kesal habis, stress berat deh!

Perasaan itu tanpa saya sadari terbawa ke ke tempat kerja.Fokus saya terbelah, tugas dari pimpinan tidak tergarap dengan baik. Kesalahan -kesalahan kecil sering terjadi.

Bahkan akhirnya saya dipanggil ke ruang pimpinan. Untungnya pimpinan saya perempuan, beliau dengan bijaksana memberi saya ruang untuk curhat,"tumpahkan semua rasa yang membebani pikiranmu, seolah kamu bicara dengan ibumu," katanya.

Dan, tumpah lah air mata saya sebelum mulai berkata -kata. Seakan saya menemukan tempat membuang semua gejolak rasa yang menggelegak.

Berbekal saran dari Ibu pimpinan yang sudah berpuluh tahun menjalani pernikahannya, saya pun berusaha untuk bangkit kembali.

Hal-hal ini yang saya lakukan kemudian;

1.Bicara dengan hati, bukan dengan emosi.

Tadinya saya beranggapan, seharusnya suami berpikir dan tahu bagaimana perasaan istrinya. Lalu saya balik sendiri, apakah aku tahu bagaimana pikiran dan perasaan suami?

Tidak, kami sama-sama manusia biasa, bagaimana mungkin saya tahu jalan pikiran nya kalau suami tidak mengatakan nya.Dan sebaliknya, dia tidak tahu bagaimana perasaan saya kalau saya diam saja. Berkutat dengan kejengkelan yang menguras energi.

Nah, di sini perlunya pasangan harus saling terbuka, menyampaikan apa yang diinginkan agar pasangan mengerti.

Tidak perlu menuduh bahwa sikap pasangan kita yang menyebabkan putusnya komunikasi, dengan lapang dada saya minta maaf. Kami saling memaafkan dan berniat memperbaiki kesalahan yang sudah -sudah.

2.Mengajak berbagi tugas di rumah.

Tahap berikutnya, sepakat berbagi tugas di rumah. Suami menyapu dan mengepel lantai sebelum mandi, misalnya, dll dll. Deal!

3. Merencanakan jadwal kencan berdua. Melibatkan diri pada hobi pasangan.

Ini penting untuk merekatkan kembali jalinan cinta yang mulai renggang, jangan sampai lepas, karena masih ada getar di dada. Nyala api cinta jangan sampai redup dan lalu mati.

Berikutnya kami membuat jadwal.Sebulan atau dua bulan sekali kami berkunjung ke rumah mertua, bergantian antara orang tua saya dan orang tua nya.Menjaga silaturahmi dengan keluarga.

Dan akhir pekan adalah waktu kami  bersenang -senang, walaupun tidak keluar rumah, dia nonton bola, saya ikutan nonton, kami kadang taruhan. Kalau dia kalah, saya minta dibelikan Intisari terbitan terbaru. Kalau saya yang kalah, saya belikan dia tabloid bola.

Lain kali taruhan, sudah berbeda lagi jenis taruhannya.

Ada kalanya kami berburu buku ketika Gramedia cuci gudang .Sampai di rumah, kami membaca bersama, lalu bertukar bacaan.

Itu hanya sebagai contoh kecil. Intinya, kebersamaan itu walaupun dalam hal sederhana namun tetap ada, tidak asyik sendiri -sendiri, saling mengabaikan pasangan.

Sesekali kami keluar rumah, berboncengan motor seperti dulu masih pacaran.Kadang cuma putar-putar di alun-alun kota lalu ngopi di angkringan.

Hanya hal-hal sederhana tetapi dalam kebersamaan. Perasaan bahagia dan damai di hati, lebih bernilai maknanya.

Masak bersama, menu ala rumahan, tak harus mewah mengikuti resep yang aneh -aneh. Sedapnya sambal terasi dan lalapan kemangi dalam penyet lele. Sungguh telah mampu membalikkan kemesraan kami  seperti di awal.

Lambat namun pasti, kesepian dan rasa sendiri itu tidak lagi saya rasakan.Kami menjadi lebih dekat secara fisik dan emosi. Tercipta kembali kemesraan yang nyaris sirna.

Segala masalah rumah tangga sebaiknya memang dibicarakan dan dicari jalan keluarnya bersama. Komunikasi jangan terputus agar hati tetap terhubung. Mencegah pengaruh dari luar menyusup, lebih riskan jika menimbulkan perselingkuhan.

Jika ada yang memilih jalan bercerai, jangan -jangan keputusan itu hanya emosi sesaat.Pada akhirnya menjadi penyesalan yang berkepanjangan.Terlebih jika sudah ada momongan.

Setiap keputusan yang kita ambil akan berimbas pada orang-orang terdekat kita, anak-anak yang masih harus dididik dan dibimbing.

Alangkah indah sebuah pernikahan, jika cinta dan kasih sayang masih ada di sana. Di hati pemiliknya.

Jadi, sebuah saran dari saya, hindari sedini mungkin 'lonely marriage ' duhai kawan-kawan ku, kompasianer.

Semoga bermanfaat.

Wassalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun