Tetapi setelah kelahiran buah hati, momen itu jarang kami lakukan. Mengurus anak dan juga bekerja di luar rumah, rasanya capek banget, pekerjaan rumah tangga tidak ada habisnya meskipun ada yang mengasuh si kecil ketika kami tinggal bekerja.
Di saat saya butuh bantuan, suami barulah turun tangan, kadang dengan rona muka yang tidak sedap dipandang mata.
Kalau kemudian kami jarang ngobrol, sebenarnya saya yang males mengajak bicara, bawaan saya baper mulu.
Jadinya suami semakin menggila dengan hobinya nonton bola sendiri.Ponsel selalu ada dalam genggaman, ke kamar mandi sekali pun. Seolah tidak ingin melewatkan sedetik pun keseruan streaming yang ditonton.Sementara saya report beberes sambil menggendong anak. Tidak ada waktu lagi membaca buku fiksi.
Duh, rasanya pingin banget ku tinggalin aja dia, biar mengurus rumah sendiri.Kesal habis, stress berat deh!
Perasaan itu tanpa saya sadari terbawa ke ke tempat kerja.Fokus saya terbelah, tugas dari pimpinan tidak tergarap dengan baik. Kesalahan -kesalahan kecil sering terjadi.
Bahkan akhirnya saya dipanggil ke ruang pimpinan. Untungnya pimpinan saya perempuan, beliau dengan bijaksana memberi saya ruang untuk curhat,"tumpahkan semua rasa yang membebani pikiranmu, seolah kamu bicara dengan ibumu," katanya.
Dan, tumpah lah air mata saya sebelum mulai berkata -kata. Seakan saya menemukan tempat membuang semua gejolak rasa yang menggelegak.
Berbekal saran dari Ibu pimpinan yang sudah berpuluh tahun menjalani pernikahannya, saya pun berusaha untuk bangkit kembali.
Hal-hal ini yang saya lakukan kemudian;
1.Bicara dengan hati, bukan dengan emosi.