Sekaligus memohon keselamatan dan kesejahteraan menjalani kehidupan di tahun berikutnya.
Kenangan saya tentang bubur suro, ceritanya begini, ketika masih kecil, kami tinggal di rumah Mbah Uti karena ibu saya belum memiliki rumah sendiri.
Lalu masa SMP dan pada jenjang pendidikan selanjutnya, saya tempuh di luar kota, indekos. Bahkan ketika menikah saya diboyong suami ke luar Jawa. Sejak itu saya tidak pernah lagi makan bubur suro yang dimasak oleh Mbah Uti.
Setiap kali momen suro-an , kenangan itu selalu muncul.Dan sebelum menulis topik ini, saya juga membuat bubur suro dan mengirim doa kepada almarhum Mbah Uti.
Pada suapan pertama ketika baru di ujung lidah, rasa gurih santannya membuka memori masa kecilku, yang selalu bersama Mbah Uti di rumah sepanjang hari, ditinggal ibu bekerja.
Lalu, diaduk atau tidak diaduk?
Kalau saya sih termasuk golongan yang tidak diaduk.
Kenapa?
Tidak kenapa kenapa, sudah terbiasa sejak dulu kala. Mungkin juga karen Mbah Uti.
Kata Mbah Uti, "Maeme di-sendok-i soko pinggir, supoyo ora morat marit."maksudnya, makannya diambil dari tepi supaya gak berantakan. Saya memahami maksud beliau begitu.
Dan sejak itu saya kalau makan bubuk tidak diaduk, keterusan sampai sekarang.Menurut perasaan, kalau bubur itu saya aduk dulu, justru ga selera lagi mau makan.he he..