Aku bersama Malini ke pasar. Kebetulan dia membawa beberapa kg kopi yang hendak dijual lalu uangnya buat belanja bahan makanan yang akan dibawa ke kebun. Memetik kopi lagi lalu dijual lagi . Begitulah siklusnya petani kopi, kata Malini.
Sampai di pasar, ku amati lebih detail tentang jual beli kopi itu.
Oh, berarti kami harus memiliki tempat kalau begitu. Saat itu juga sambil belanja kami juga mencari info sekiranya ada tempat atau kios kecil yang disewakan. Kupikir uang yang ada harus dibagi untuk modal juga.
Berjalan- jalan sambil pulang, belum ada harga yang cocok sesuai budget yang ada. Sulit juga ternyata.
Besoknya lagi, aku dan suamiku menjelajah sekitar pasar. Belum dapat, belum dapat harga yang terjangkau.
Besoknya lagi, begitu lagi. Setiap hari kami mencari dan terus mencari.
Bukan perkara mudah mencari harga sewa sesuai dengan rencana anggaran. Tapi bukan berarti tidak ada. Aku yakin pasti ada. Hanya belum ketemu sajaÂ
Untungnya suamiku bukan orang asing di desa ini. Bertanya-tanya kepada kenalan dan kerabatnya barulah mulai ada titik terang.
Ada tempat bekas garasi yang kosong, karena mobilnya sudah dijual, agak jauh dari pasar tapi kata suamiku itu tidak masalah.Katanya kami tidak harus duduk di situ menunggu orang datang menjual kopinya tetapi dia akan jemput bola ke kebun-kebun saudara atau kenalannya. Nah, ok, aku setuju.
Bismillah, setelah dibersihkan, besoknya kami mulai buka usaha ha kecil-kecilan, jual beli kopi.
 Bekas garasi yang kami sewa sekaligus sebagai tempat tinggal. Setelah disekat dengan triplek dibagi menjadi 2 ruangan. Untuk dapurnya , boleh memakai ruang di belakangnya. Alhamdulillah.