Kesempatan itu pun datang. Hari Jumat bagi Hendar adalah hari libur, alias sengaja di rumah saja. Sebenarnya itu atas saranku. Keluar rumah jika sudah pulang dari sholat Jumat. Dia melakukannya.
Kami duduk di teras, menghadap ke jalan raya, sudah ku seduh kopi dan juga biskuit kalengan menemani.Â
"Bagaimana pekerjaan di sini, bisnis kayu macam apa yang kalian jalankan?" tanyaku sambil duduk.
"Lancar, kalau aku tidak datang, ada temanku yang menangani."kutelisik raut wajahnya, mencoba membaca,adakah kejujuran ataukah kebohongan yang diucapkan.
"Oh, temanmu Adam yang istrinya kutemui itu?"ingatanku melayang, kepadanya aku perlu berterima kasih.
"Itu legal? kalau itu pembalakan liar, berat hukumannya, ada Undang-undangnya.." aku sudah mempelajari hal beginian.
Suamiku terdiam, seolah kesulitan menata kata.
"Dan satu hal yang harus kau pikirkan, jangan sekali-kali kau menafkahi keluarga dengan uang haram!"nada bicaraku agak menekan.
Belum sempat Hendar menanggapi ,sebuah motor nyelonong begitu saja ke halaman. Tanpa melepaskan helmnya, bahkan tidak mematikan mesinnya, orang itu sepertinya akan mengatakan sesuatu, tapi melihat ke arahku dulu, lalu menutup mulutnya.
"Ada apa? bicaralah!"suamiku tersentak dan berdiri.
" Celaka, Pak....Bang Adam, ..Pak!"terbata-bata diantara nafasnya yang memburu orang itu turun dari motor trail nya, mesin motor tetap menyala.