Patah hati, tumbuhkan lagi.
Ini cara ku memotivasi diri.Â
Semangat untuk terus melanjutkan hidup harus tumbuh dari hari ke hari.
---
Tidak ada kata patah hati dalam kamusku. Putus cinta memang membuat hati pilu. Karena manusia punya jiwa merasakan. Manusiawi kan? Tapi jangan keterusan.
Putus cinta ku yang terakhir, karena si dia dipanggil Tuhan menghadap -Nya. Walaupun cincin pertunangan sudah melingkar di jari kami.
Ku maknai sebagai takdir. Kami tidak berjodoh. Hidup ini simple, tak perlu dibuat rumit.
Tidak butuh lama, datang lah laki laki pengganti.Dia kerja di sub kontraktor, perantauan dari Lampung. Di Surabaya sudah lama katanya, hampir 10 tahun.Pantas saja dia sudah ber-KTP Surabaya. Usianya 9 tahun lebih tua dari ku. Usia yang  cukup matang untuk menikah.
Pacaran 3 bulan, kami menikah.Di kampung ibuku. Di kota buaya ini aku kuliah sambil bekerja. Tinggal di rumah bapak dengan ibu tiri.
Keputusan menikah dengan Hendar,Jujur saja, bukan karena aku cinta banget, tapi aku merasa sudah lelah. Sudah saatnya serius. Rasa suka seiring waktu bisa menjadi cinta bila dilandasi niat tulus.
 Hendar tulus menerima ku apa adanya. Tidak masalah betapa kelam masa laluku." mari kita buka lembaran baru, singkirkan sejenak masa lalu." katanya tanpa ragu.
Satu bulan kemudian aku hamil. Dan bulan berikutnya suami ku pulang ke Lampung. Ada saudaranya yang mengajak bisnis kayu . Dia berjanji akan pulang kalau nanti acara tingkepan alias nujuh bulan kehamilanku yang pertama.Itu memang ritual adat Jawa.
Namun sampai hari H tidak ada kabar berita. Padahal acara itu tidak bisa dituda. Jadilah acara berlangsung tanpa kehadiran nya.
Sedih?Â
Banget! Tapi mau bagaimana lagi.
Pada hari berikutnya, aku bermaksud menemui rekan kerjanya. Tapi hanya bertemu istrinya. Ku perkenalkan diriku.
"Ooh..sampen istrinya Hendar yang kedua?"jawabnya spontan.
Haaa..? Setengah bingung dan bengong, ku 'iya' kan saja. Aku tak ingin berlama-lama. Menahan jantung ku yang seakan mau melompat. Mataku pun terasa mengembun.Aku cepat pamit setelah mendapatkan no telepon.
Sampai di rumah, untungnya ibuku belum pulang dari mengajar. Sehingga tak sempat melihat mataku yang sembab.
Aku segera memutar angka-angka di telpon rumah. Ponsel masih menjadi barang mewah bagi kami.
Ku katakan ,"jemput lah aku cepat, aku ingin melahirkan di sampingmu. Aku istrimu, ke mana kau pergi, aku ikut."
Dua hari kemudian suamiku datang.
Aku bersikap sewajarnya seorang istri.Semua amarah, kecewa dan seabrek sakit hati ku, kusimpan dulu sementara. Kesehatan kandungan ku lebih utama.
Berangkat lah kami ke Lampung. Perjalanan panjang dari ujung timur Pulau Jawa menuju Lampung , seperti hiburan sesaat. Pengalaman baru menyeberang ke Pulau Sumatera ku nikmati sebagai bulan madu.
Sehari semalam tanpa henti, bersyukur telah kami lalui dengan selamat dan sehat sampai tujuan.
Aku dibawa ke rumah 'Uwak' suami ku menyebutnya. 'Pak Dhe' kata orang Jawa.
 Di sebuah desa, di Lampung Utara.Aku berusaha beradaptasi dengan  adat istiadat daerah setempat yang pastinya berbeda dengan adat Jawa.Sediki banyak suamiku sudah bercerita.Bukan hal yang sulit.
Tibalah saat melahirkan. Alhamdulillah anak ku laki-laki lahir dengan selamat dan sempurna. Meskipun ada sedikit kendala, mengingat yang menolong persalinan hanya seorang dukun bayi. Bu Bidan baru datang kemudian, merawat ku pasca melahirkan.
Hari-hari berjalan penuh tantangan namun juga kebahagiaan. Merawat bayi, menyusui dan melihat tumbuh kembangnya setiap hari, ada perasaan yang entah bagaimana, sulit di gambarkan. Hatiku bergejolak antara mempertahankan anak ini bersamaku atau akan ku tinggalkan?
Ketika usia bayi ku 40 hari, seperti di Jawa, di sini pun dilaksanakan upacara potong rambut, memberi nama, dalam selamatan kecil-kecilan. Dihadiri oleh kerabat dan tetangga di sekitar rumah kami tinggal.
Setelah mereka semua tamu pulang, keesokan paginya, tiba saatnya harus bicara dengan suamiku. Aku sudah cukup menahan diri.
Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Datang serombongan tamu dari Jawa. Istri suamiku dan 2 anaknya satu perempuan berusia 6 tahun dan satu laki-laki usia 18 bulan, katanya belum lama bisa berjalan. Ada juga satu perempuan tua yang adalah mertua suamiku. Sekilas kulihat, mereka seperti orang yang datang dari desa. Bukan datang dari kota besar Surabaya.
Suamiku sangat terkejut. Pastinya.
Terbukalah kedoknya. Aku hanya tidak menduga akan secepat ini kejadiannya. Kupikir ini pertolongan dari Tuhan. Lebih cepat bisa diselesaikan lebih baik.
Kami duduk lesehan di ruang tamu, Uwak dan yang lain mundur ke belakang setelah beramah-tamah menyambut tamu sekedarnya.
Aku duduk di samping suamiku dan mendekap bayiku berhadapan dengan mereka.
Suami istri lalu perang mulut, aku hanya bertindak sebagai pendengar, tak ku pungkiri bahwa aku juga sedih, sebisa mungkin menahan diri. Belum saatnya aku nimbrung.
Kusaksikan perempuan itu, ditengah isak tangisnya, jari telunjuknya mengarah ke Hendar," kamu tidak tahu berterima kasih, aku sudah mejadi istrimu yang susah payah bekerja serabutan demi kita bisa makan.Setelah sedikit berhasil, kamu menikah lagi. Laki-laki tidak tahu diri!" lantang suaranya.Mungkin tetangga ikut mendengarkan.
Dan jawaban Hendar,"kalau bukan kamu yang menjebakku, belum tentu aku mau punya istri bodoh seperti kamu," dengan entengnya dia berdalih.
Semakin emosi lah perempuan itu. Dan dilampiaskan kepada ku," kamu perebut suami orang! apa tidak ada laki-laki lain yang mau kawin denganmu?"jari telunjuknya menudingku.
Lah..? enak saja ngomong.
Tapi tunggu dulu.
Tidak ada gunanya aku menanggapi tudingan orang yang sedang di puncak emosi. Lagian aku tidak merasa berada di pihak yang salah.Bahkan aku juga korban.
---
Ku katakan kepada Hendar kemudian, ketika kami di kamar berdua. Para tamu itu disuruh istirahat dulu.
"Aku sudah tahu sebenarnya, dan pilihanmu sekarang hanya ada dua, menceraikan dia atau aku? Tidak perlu berpanjang lebar!" tukasku tanpa air mata. Air mataku sudah tumpah ruah sebelum dijemput dulu.
Dalam pikiran ku,kalau kami bercerai ,aku masih muda, dan berpendidikan, aku akan melanjutkan kuliah 2 semester lagi. Menyandang gelar sarjana hukum, tentu tidak sulit mendapat pekerjaan.Atau apapun itu, aku bertekad bekerja untuk menghidupi diriku dan anakku. Orangtua ku juga cukup berada meskipun tidak kaya raya.Setidaknya kami tidak bakalan terlantar dan kelaparan.
Malamnya pembicaraan dilanjutkan. Perempuan itu menolak bercerai .,
"Kamu tuh perempuan yang tidak jujur., aku sudah berusaha mengajarimu tetapi kamu selalu dengan kemauanmu sendiri tidak menghargai ku sebagai suamimu. Jangan salahkan kalau aku menikah lagi dengan perempuan yang lebih pintar dan berpendidikan,"kata Hendar.
Ooh..jadi begitu.
Keputusan akhirnya, perempuan itu disuruh pulang ke Jawa, 2 anaknya boleh ditinggal atau dibawa, terserah.
Kenyataan bahwa akulah yang dipertahankan, tidak membuat ku senang apalagi bahagia. Justru aku menjadi gamang.Di satu sisi aku masih butuh dia menjadi ayah anakku tapi di sisi lain, aku tidak butuh laki-laki seperti ini menjadi pendamping hidupku.Jalanku  masih akan panjang.
Lantas aku harus bagaimana ?
Bersambung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H