Tapi tunggu dulu.
Tidak ada gunanya aku menanggapi tudingan orang yang sedang di puncak emosi. Lagian aku tidak merasa berada di pihak yang salah.Bahkan aku juga korban.
---
Ku katakan kepada Hendar kemudian, ketika kami di kamar berdua. Para tamu itu disuruh istirahat dulu.
"Aku sudah tahu sebenarnya, dan pilihanmu sekarang hanya ada dua, menceraikan dia atau aku? Tidak perlu berpanjang lebar!" tukasku tanpa air mata. Air mataku sudah tumpah ruah sebelum dijemput dulu.
Dalam pikiran ku,kalau kami bercerai ,aku masih muda, dan berpendidikan, aku akan melanjutkan kuliah 2 semester lagi. Menyandang gelar sarjana hukum, tentu tidak sulit mendapat pekerjaan.Atau apapun itu, aku bertekad bekerja untuk menghidupi diriku dan anakku. Orangtua ku juga cukup berada meskipun tidak kaya raya.Setidaknya kami tidak bakalan terlantar dan kelaparan.
Malamnya pembicaraan dilanjutkan. Perempuan itu menolak bercerai .,
"Kamu tuh perempuan yang tidak jujur., aku sudah berusaha mengajarimu tetapi kamu selalu dengan kemauanmu sendiri tidak menghargai ku sebagai suamimu. Jangan salahkan kalau aku menikah lagi dengan perempuan yang lebih pintar dan berpendidikan,"kata Hendar.
Ooh..jadi begitu.
Keputusan akhirnya, perempuan itu disuruh pulang ke Jawa, 2 anaknya boleh ditinggal atau dibawa, terserah.
Kenyataan bahwa akulah yang dipertahankan, tidak membuat ku senang apalagi bahagia. Justru aku menjadi gamang.Di satu sisi aku masih butuh dia menjadi ayah anakku tapi di sisi lain, aku tidak butuh laki-laki seperti ini menjadi pendamping hidupku.Jalanku  masih akan panjang.