"Fatimah!"
Tubuh tinggi semampai bergaun biru dengan rambut sebahu yang berkibar tertiup angin itu tak merespon panggilanku. Ia masih diam terpaku di depan Klenteng Hok Tjing Rio. Matanya nanar ke arah permukaan sungai Musi yang beriak keperakan memantulkan sinar matahari pagi.
"Fatimah!"
Aku mengambil jarak semakin dekat. Tidak salah lagi, dia memang Fatimah yang selama ini aku cari.Â
"Fa ... Fatimah, ini aku!"
"Maaf, saya Michelle Liong. Mungkin Anda salah orang?"
Gugup aku meminta maaf padanya. Lalu kami terlibat obrolan panjang untuk menghilangkan kekikukan di antara kami berdua. Â
Gadis itu berasal dari Jakarta. Ia sudah seminggu di pulau Kemaro yang berada di tengah sungai Musi, enam kilometer dari Jembatan Ampera Palembang. Berbeda denganku yang sudah lama sekali jadi penghuni pulau ini, ia baru datang ke sini atas kemauan kekasihnya, Melvin.Â
Mereka berencana menikah tahun ini, bertepatan dengan perayaan Imlek dan Cap Go Meh. Mereka ingin mengadakan private party yang dihadiri oleh keluarga mereka berdua yang kebetulan hanya berkumpul saat Imlek tiba.Â
Sepasang kekasih itu tak menyangka, jika impian indahnya akan kandas. Popo Lie Las Nio, nenek Michelle, juga keluarga besar Melvin yang masih memegang teguh ajaran para leluhur, melarang mereka menikah. Michelle yang bershio naga dipercayai tidak akan berjodoh dengan Melvin yang bershio kerbau.Â
Jika shio naga dipaksakan menikah dengan shio kerbau, maka pernikahan mereka akan menuai bencana, alih-alih berkah dan kemakmuran yang didapatkan.Â
"Jadi, karena itu kamu pergi ke pulau Kemaro ini sendirian?"
"Yah. Sebenarnya berdua karena Melvin berjanji akan menyusulku. Dia menyuruhku menunggu di depan Klenteng ini sehari setelah aku sampai di sini. Tapi, sampai hari ini dia tak pernah muncul. Dasar pengecut!" Bibir mungilnya mendesah penuh kekecewaan. Matanya yang sipit dan bening tiba-tiba mengabut dan butiran kecil tergelincir di pipi porselennya.Â
"Kalian akan kawin lari di pulau ini?"
"Tidak seberani itu, atau Popo akan mencoretku dari kartu keluarga."
"Lantas?"
"Menurut yang Melvin baca di google, di sini ada pohon cinta. Barang siapa menuliskan nama mereka berdua di pohon itu, maka cintanya akan abadi. Berakhir bahagia di pelaminan. Hanya itulah harapan kami satu-satunya agar para Dewa merestui perkawinan kami. Tapi, nyatanya Melvin menyerah pada takdir. Dia membiarkanku sendiri menunggu Imlek berlalu di pulau Kemaro yang asing ini." Michelle berbisik sedih. Suaranya parau terbawa angin kemarau, kering, mengiris-iris perasaan siapa saja yang mendengarnya.
Aku berdiri di samping gadis malang itu, mengusap pundaknya untuk berbagi kekuatan. Aku tahu persis apa yang ia rasakan. Bertahun lalu, kisah cintaku kandas di pulau ini. Fatimah, gadis yang aku cintai tak pernah bisa kutemui lagi. Aku hanya bisa berharap para Dewa berbaik hati menyatukan kami di kehidupan yang akan datang.
Kami lantas berpisah dan berjanji untuk bertemu kembali di malam Imlek di sini. Aku akan mengajaknya berkeliling pulau dan melihat pohon cinta yang legendaris itu. Sebagai penduduk asli pulau ini, aku hafal seluruh sudut pulau, bahkan cara terbaik menulis nama di pohon cinta yang kini diberi pagar keliling tanpa diketahui siapapun, termasuk petugas keamanan.
***Â
Malam Imlek di pulau Kemaro telah tiba. Seluruh jengkal tanah di tengah sungai Musi ini bermandikan cahaya. Lampion tergantung di setiap sudut jalan, pohon, dan bangunan yang ada. Bulan tersenyum tipis di langit dan menyampaikan salam pada angin malam yang berhembus dingin dari permukaan sungai yang bergoyang landai seperti permukaan permadani perak.
Aku menggandeng tangan Michelle yang berdiri sedih di depan sekelompok pohon cinta yang berdiri congkak di tengah pulau. Sebuah pagar terlihat berdiri mengelilingi seperti kain sarung kedodoran yang dikenakan anak yang baru disunat. Malam ini terasa sangat ganjil, senyap tanpa wisatawan yang biasanya mengerumuni pohon legendaris ini. Hanya ada aku dan Michelle.
"Ayo kita masuk!" Aku menarik tangan gadis cantik itu menerobos pagar. Ajaib, pagar yang kami lewati mendadak lenyap dan kami berdua dengan mudah menerobos masuk sampai di batang pohon cinta yang paling besar.
"Ayo, torehkan namamu di sini," seruku sambil memberikan sebuah pisau perak kecil bergagang kayu cendana berhias batu giok yang sangat indah.Â
Tangan lembutnya yang seputih susu gemetar mengukirkan namanya 'Michelle', lalu aku mengambil pisau dari genggamannnya kemudian mengukir nama 'Anthony' dengan gambar daun waru di antara kedua nama itu.
"Jadi, namamu Anthony?" Matanya berbinar saat menatapku untuk pertama kalinya.
"Tan Bun An, tapi panggil saja Anthony."
***Â
Hari ini, aku berjanji akan mengantar Michelle, Fatimah-ku, ke dermaga. Ia akan kembali ke Jakarta dan berjanji untuk datang kembali ke pulau Kemaro ini bulan depan, dan aku menyuruhnya untuk kembali ke sini kapanpun dia mau.Â
Kulihat gadis itu berdiri cukup lama di depan Klenteng, bolak-balik melihat ke lingkaran kecil bertali emas di pergelangan tangan dengan gelisah. Ia mendesah perlahan sambil mengusap mata yang mulai berembun, lalu berjalan cepat menuju ke arah dermaga.Â
Aku berjalan tanpa suara di sisinya, merengkuh bahunya dan membisikkan kata-kata penghiburan. Tapi entah kenapa ia tak mendengarkan kata-kataku. Bahkan, sepertinya ia tak menyadari kehadiranku.
Aku memandangnya sedih saat ia berdiri di geladak kapal dan memandang dengan tatapan kosong ke arah pulau Kemaro. Tiba-tiba, seorang pemuda jangkung yang sejak tadi berdiri di sebelahnya mengajak berkenalan.
"Mau pulang ke Jakarta?"
"Iya."
"Kenalkan, namaku Anthony."Â
Kapal pun berangkat dan aku tak bisa lagi mendengarkan percakapan mereka. Aku tak bisa menemani Michelle sampai ke kapal. Saat terakhir aku dan Fatimah naik kapal dari Tiongkok, aku kehilangan seluruh kehidupanku. Aku sudah sangat bersyukur bisa bertemu dengan Michelle, Fatimah-ku di kehidupan sekarang.
(Tamat)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H