"Ayo kita masuk!" Aku menarik tangan gadis cantik itu menerobos pagar. Ajaib, pagar yang kami lewati mendadak lenyap dan kami berdua dengan mudah menerobos masuk sampai di batang pohon cinta yang paling besar.
"Ayo, torehkan namamu di sini," seruku sambil memberikan sebuah pisau perak kecil bergagang kayu cendana berhias batu giok yang sangat indah.Â
Tangan lembutnya yang seputih susu gemetar mengukirkan namanya 'Michelle', lalu aku mengambil pisau dari genggamannnya kemudian mengukir nama 'Anthony' dengan gambar daun waru di antara kedua nama itu.
"Jadi, namamu Anthony?" Matanya berbinar saat menatapku untuk pertama kalinya.
"Tan Bun An, tapi panggil saja Anthony."
***Â
Hari ini, aku berjanji akan mengantar Michelle, Fatimah-ku, ke dermaga. Ia akan kembali ke Jakarta dan berjanji untuk datang kembali ke pulau Kemaro ini bulan depan, dan aku menyuruhnya untuk kembali ke sini kapanpun dia mau.Â
Kulihat gadis itu berdiri cukup lama di depan Klenteng, bolak-balik melihat ke lingkaran kecil bertali emas di pergelangan tangan dengan gelisah. Ia mendesah perlahan sambil mengusap mata yang mulai berembun, lalu berjalan cepat menuju ke arah dermaga.Â
Aku berjalan tanpa suara di sisinya, merengkuh bahunya dan membisikkan kata-kata penghiburan. Tapi entah kenapa ia tak mendengarkan kata-kataku. Bahkan, sepertinya ia tak menyadari kehadiranku.
Aku memandangnya sedih saat ia berdiri di geladak kapal dan memandang dengan tatapan kosong ke arah pulau Kemaro. Tiba-tiba, seorang pemuda jangkung yang sejak tadi berdiri di sebelahnya mengajak berkenalan.
"Mau pulang ke Jakarta?"