Mohon tunggu...
Umi Sakdiyah Sodwijo
Umi Sakdiyah Sodwijo Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Pengelana kata yang riang gembira

Pengelana kata yang riang gembira

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Horor: Hantu Budek Terowongan Stasiun Cawang

18 Februari 2022   00:35 Diperbarui: 20 Februari 2022   06:47 1127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar: www.cnnindonesia.com

Apakah kau ingat? Hampir setiap malam kau menungguku di Stasiun Cawang selepas aku mengajar privat di Jl. Tebet Timur Dalam. Saat jam dinding bulat menunjukkan angka sepuluh, kita selalu bertemu di sini. Lalu kita berjalan bersisian menyusuri rel kereta, menembus terowongan Stasiun Cawang yang angker.

Kau selalu berjalan mendahuluiku dan aku mengekor di belakangmu, menaiki undakan, sampai kita berdiri menunggu bis di depan Menara Saidah. 

"Kalau ada hantu atau penjahat biar aku yang ngadepin," itu katamu selalu sambil cengengesan. Ah, gayamu yang selalu slengekan tiba-tiba membuatku rindu. Aku memang membutuhkan kehadiranmu untuk menemaniku melewati terowongan yang angker, gelap dan tanpa pagar. Selain hantu, aku juga takut diganggu preman yang sering aku lihat mempekerjakan anak-anak untuk ngamen di sini.

Tak seperti biasanya, kali ini Stasiun Cawang terlihat sepi. Hanya ada satu dua calon penumpang yang sedang berdiri menunggu kereta. Aku berjalan melewati mereka dan turun ke sepasang rel yang selalu bersisian namun tak pernah bertemu.

"Seperti kita berdua. Berjalan bersisian tapi tak pernah ketemu di pelaminan," katamu selalu tiap kita berjalan dalam bisu menyusuri dua besi panjang yang selalu setia. Ah, setia. Satu kata yang justru melukaiku. Aku setia menunggu dalam sepi tapi kau tak pernah kembali. Berjanji pun tidak.

Tiba-tiba gerimis turun. Untunglah aku selalu setia membawa payung hitam yang kau pinjamkan dulu. Payung yang selalu kau bawa saat menungguku jika langit terlihat mendung. Aku pun meneruskan berjalan di samping rel kereta sambil berpayung. Ah, biasanya kau selalu berjalan di depanku sambil tertawa.

"Anggep aja lagi ngojek payung," begitu katamu selalu.

Hei, benarkah itu kau? Kulihat dirimu menungguku di tengah rel kereta di bawah terowongan. Tanganmu melambai-lambai dan meneriakkan namaku.

"Jeff ... Kamu datang?" Aku berseru gembira dan berlari ke arahmu. Aduh! tiba-tiba kakiku terantuk rel kereta. Teriakan-teriakan semakin keras terdengar.

"Mbaaak ... minggiiir ... minggiiir! Ada keretaaa!"

Semakin banyak lagi yang berteriak ditingkah suara-suara yang memekakkan telinga. Tanah yang kupijak pun terasa bergetar.

Jangan-jangan ada kereta lewat? Reflek aku menoleh ke belakang. Orang-orang di stasiun ramai berteriak dan melambai-lambaikan tangan. Sebuah rangkaian kereta sedang berlari ke arahku yang sedang berdiri di tengah rel, di terowongan Stasiun Cawang. Sontak aku bergegas lari ke pinggir, memeluk dinding terowongan.

Sambaran angin dari rangkaian kereta yang berlari menggila menerbangkan payung hitam yang menaungi kepalaku. Hancur berkeping-keping, terkapar tak berbentuk di sepanjang rel. Maafin aku ya, nggak bisa njagain barang pemberianmu, bisikku pasrah.

Aku bergidik ngeri. Andai saja tak menepi, tentu nasibku akan seperti payung hitam milikmu itu. Luluh lantak, seperti hatiku saat kau tinggalkan tanpa kabar.

"Mbakmya nggak apa-apa?" Seorang calon penumpang berlari mendekatiku dan mengulurkan segelas air mineral. Aku meminumnya dengan cepat sambil bersandar di dinding terowongan. Seandainya kau di sini, tentu bukan hanya air putih yang akan kau berikan. 

"Alhamdulillah, selamet, Pak. Terima kasih," jawabku lemah. Aku masih belum sepenuhnya sadar atas apa yang telah terjadi.

"Kalau lewat terowongan hati-hati, Mbak. Di sini angker. Kudu baca-baca dan jangan bengong. Di sini ada hantu budeg. Jadi dia bikin orang yang lewat nggak dengar apa-apa. Tadi saya dan orang-orang di stasiun udah teriak-teriak keras, lho. Tapi mbaknya nggak dengar."

"Yang bener, Pak? Saya nggak denger apa-apa," sahutku menggeleng lemah, nyaris terdengar seperti gumaman. Bayangan tubuh Jeff yang berdiri di atas rel, tersenyum manis dan memanggil-manggil namaku tergambar kembali di depan mata. 

"Mbaknya pasti lagi nglamunin seseorang kan? Biasanya memang begitu, Mbak. Hantu budeg datang dalam wujud yang paling diinginkan oleh korbannya hingga ia budeg, tuli, dan tak mendengar apa-apa selain panggilan sosoknya yang sedang menyamar."

***


(Catatan: Pada tahun 2000-an, keadaan Terowongan Stasiun Cawang belum sebagus tahun 2022)

Kisah sebelumnya: Cerpen Horor: Dini Hari di Depan Menara Saidah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun