Semakin banyak lagi yang berteriak ditingkah suara-suara yang memekakkan telinga. Tanah yang kupijak pun terasa bergetar.
Jangan-jangan ada kereta lewat? Reflek aku menoleh ke belakang. Orang-orang di stasiun ramai berteriak dan melambai-lambaikan tangan. Sebuah rangkaian kereta sedang berlari ke arahku yang sedang berdiri di tengah rel, di terowongan Stasiun Cawang. Sontak aku bergegas lari ke pinggir, memeluk dinding terowongan.
Sambaran angin dari rangkaian kereta yang berlari menggila menerbangkan payung hitam yang menaungi kepalaku. Hancur berkeping-keping, terkapar tak berbentuk di sepanjang rel. Maafin aku ya, nggak bisa njagain barang pemberianmu, bisikku pasrah.
Aku bergidik ngeri. Andai saja tak menepi, tentu nasibku akan seperti payung hitam milikmu itu. Luluh lantak, seperti hatiku saat kau tinggalkan tanpa kabar.
"Mbakmya nggak apa-apa?" Seorang calon penumpang berlari mendekatiku dan mengulurkan segelas air mineral. Aku meminumnya dengan cepat sambil bersandar di dinding terowongan. Seandainya kau di sini, tentu bukan hanya air putih yang akan kau berikan.Â
"Alhamdulillah, selamet, Pak. Terima kasih," jawabku lemah. Aku masih belum sepenuhnya sadar atas apa yang telah terjadi.
"Kalau lewat terowongan hati-hati, Mbak. Di sini angker. Kudu baca-baca dan jangan bengong. Di sini ada hantu budeg. Jadi dia bikin orang yang lewat nggak dengar apa-apa. Tadi saya dan orang-orang di stasiun udah teriak-teriak keras, lho. Tapi mbaknya nggak dengar."
"Yang bener, Pak? Saya nggak denger apa-apa," sahutku menggeleng lemah, nyaris terdengar seperti gumaman. Bayangan tubuh Jeff yang berdiri di atas rel, tersenyum manis dan memanggil-manggil namaku tergambar kembali di depan mata.Â
"Mbaknya pasti lagi nglamunin seseorang kan? Biasanya memang begitu, Mbak. Hantu budeg datang dalam wujud yang paling diinginkan oleh korbannya hingga ia budeg, tuli, dan tak mendengar apa-apa selain panggilan sosoknya yang sedang menyamar."
***
(Catatan: Pada tahun 2000-an, keadaan Terowongan Stasiun Cawang belum sebagus tahun 2022)