"Astaghfirullah, kalian ada-ada aja, deh. Aku Cuma motret sama bikin video aja tadi."
"Terus, tadi ngapain kamu ngomong sendiri, komat-kamit nggak jelas terus dadah-dadah segala?" cecar Sri masih penasaran dan khawatir.
"Oh, itu temenku, Joko. Oya, Sri. Kamu kan lahir dan besar di sini, pasti kenal dong, sama Joko? Orangnya tinggi besar, ganteng, rambutnya gondrong, terus suka disanggul di atas kayak aktor-aktor silat itu lho."
Tiba-tiba tubuh Sri gemetar. Mereka bertiga bergegas menarikku memasuki tenda. Aku tersaruk mengikuti langkah mereka. Sesampainya di tenda, Sri mendudukkan tubuhku di tikar dan memberikanku segelas air putih.
"Deke ke kesuwen nang Njakarta, si, dadi klalen." Sri menuduhku melupakan sesuatu karena terlalu lama tinggal di Jakarta.
"Klalen apa, si?" Apa memang ada yang aku lupakan?
"Kamu lupa sejarah Gunung Lanang ini. Jadi, dulu Mbah Joko Lanang jatuh cinta dengan seorang gadis. Tapi orang tuanya nggak merestui. Tapi namanya cinta mati, Mbah Joko Lanang diem-diem tetep ketemuan sama pacarnya itu. Terus bapaknya marah. Beliau dikutuk jadi gunung. Terus, pacarnya saking sedihnya berdoa dan moksa jadi Gunung Wadon. Itulah makanya gunung ini dinamakan Gunung Lanang. Lihat puncak batu yang tegak seperti lingga di sana itu?"
Tubuhku gemetar. "Jadi, yang aku temui tadi Joko Lanang?"
"Hush! Jangan sembarangan ngucap!" Tiga gadis cantik di depanku tak kalah gemetar. Mereka mengangguk serempak. Bahkan Sri dan penduduk desa Mergolangu sudah terbiasa dengan penampakan Joko Lanang yang mereka berikan sebutan Mbah, untuk menghormati penunggu gunung ini.
Aku tergugu. Tak tahu harus berkata apa. Tanganku meremas secarik kain batik yang diberikan Joko Lanang sebagai kenang-kenangan.
"Kau harus kembali lagi ke Gunung Lanang!"