"Sok puitis, lo!"
"Percayalah, putus cinta karena dikhianati, ditinggalkan oleh orang yang kita cintai, itu tak seberapa lukanya dibanding jika kita saling mencintai tapi tak bisa bersatu. Tapi, satu hal yang harus kau ingat, cinta tak pernah meminta syarat apapun, ia tak pernah melukai. Karena cinta hanya cukup untuk cinta."
Aku tertegun mendengar kata-katanya. Kami terdiam dan membuang pandangan ke arah lautan kabut maha luas di bawah sana, menjadikan desa-desa seperti negeri atas awan.
"Oya, siapa namamu?" Pemuda aneh itu bersuara tanpa menoleh, matanya masih nyalang menatap ke arah puncak Gunung Wadon yang mengintip malu-malu di kejauhan.
"Aku Diyah. Aku berasal dari Desa Depok di bawah sana."
"Namaku Joko. Aku lahir dan besar di sini. Aku selalu duduk di sini setiap malam bulan purnama."
Aku pun berpamitan pada Joko dan berjanji suatu saat nanti akan kembali ke sini. Saat hendak menuju tenda, aku berpapasan dengan Sri dan dua orang kawan lainnya. Ternyata mereka sedang mencariku.
Tiba-tiba mereka bertiga memelukku erat dan menangis.
"Ini ada apaan sih?"
"Kirain kamu bunuh diri," ujar Tiwi dan Niken nyaris bersamaan.
"Nggak, aku pikir kamu digondol Simbah yang mbaurekso tempat ini." Sri melepaskan pelukannya dan memandangku dengan raut wajah sangat khawatir.