Saat tiba di depan gang yang menuju ke rumahku, Nana berhenti. "Sampai sini aja, Mar. Tuh rumah guesudah deket," ujar Nana sambil menunjuk ke arah Mushola Al-Amin.
 "Gue antar sampai rumah, ya?"
"Gosah, ntar nenek gue marah. Lu liatin gue aja sampai masuk rumah, oke?"
Tanpa menunggu persetujuanku, tubuh rampingnya melesat pergi. Mungkin rumah neneknya di sebelah mushola? Atau malah di depannya? Aku pun berdiri bersedekap, melihat tubuh Nana yang berjalan melewati mushola.
Lho, kok? Jantungku berdebum kencang dan bulu kudukku tiba-tiba meremang. Mushola Al-Amin terletak berdempetan dengan makam, dan tak ada rumah lagi di sana.
Tanganku mencengkeram tiang telepon berusaha mencari keseimbangan, saat kulihat tubuh Nana berjalan lurus menembus gerbang makam yang terkunci.
Setelah berhasil menegakkan tubuh kembali, aku berlari kencang melompati portal yang terpasang di jalan masuk gang rumahku, terpeleset sekali, dan dengan tubuh sempoyongan dengan susah payah berhasil membuka pintu.
Tiba-tiba mataku terpaku pada sebuah besek berkat yang terletak di meja pendek, di atas karpet. Aku memungut buku Yasin yang terletak di atas besek. Foto yang sangat aku kenal tersenyum sedih di cover bagian depan.
Aku memeluk foto Nana di buku Yasin dan terduduk lunglai di karpet.
Â
(uss)